Tentang Perjalanan, Pilihan, dan Keputusan

Aku dan keluargaku kini: PLB FKIP UNS


"Masa depan jelas bukan algoritma yang bisa diperhitungkan. Jika memang ini penuh kejutan apa lagi yang perlu ditakutkan? Toh, kita punya Tuhan” - Nendra Primonik 


Aduh.. pagi-pagi udah sarapan quote. Tapi nggak papa lah, ya! Siapa tahu ada yang terinspirasi gitu. Biar semangat nulis, eh, semangat ngetik.

      Tadinya postingan ini mau aku tulis ala-ala diary, judulnya “Dari Apoteker, Insinyur Pertanian, Perawat, Programmer, Statistisi, Hingga Guru Luar Biasa”. Tapi kok setelah tak baca ulang kayaknya gimana gitu. Lagian kalau kisah hidupku tak ceritain semua disini bakalan kepanjangan, nggak asyik juga. Jadi aku ceritakan secara garis besar aja bagaimana aku bisa terdampar di tempat ini.

Kenapa aku bilang terdampar? Ya, jelas aja aku kan dulu ambilnya IPA -kalau jamanku kelas sepuluh sebelas namanya MIA, pas kelas dua belas diganti lagi jadi MIPA- dan prodiku ini masuk jurusan SOSHUM. Sebelumnya aku nggak pernah membayangkan akan berada di tempat seperti ini, tepatnya jurusan ini, disini. Sebelumnya aku juga nggak pernah berpikir untuk menjadi seorang guru, apalagi guru luar biasa dengan murid yang extra spesial. Tapi ternyata inilah jalanku, disinilah aku sekarang: Pendidikan Khusus Universitas Sebelas Maret.

Mungkin kalau di daerahku yang terkenal UGM atau UNY. Sampai-sampai ada yang bilang, “Ngapain jauh-jauh ke Solo, emang di IAIN nggak keterima po?” (IAIN=UIN SuKa) Dalam hati aku bilang mungkin ini orang nggak tahu kualitas UNS, tapi aku cuma bilang kalau aku emang nggak daftar disana. Ada lagi yang lain. Sewaktu ditanya kuliah dimana, aku kan jawab di UNS. Terus ada yang bilang, “Oh, di Semarang ya?” Mungkin beliau pikir UNS itu sigkatan dari Universitas Negeri Semarang. Bahkan ada yang ngira UNS itu di Surabaya. Terus yang lain bilang, “Ngawur, UNS itu di Solo!” Sempat lega akhirnya ada yang tahu, tapi setelah itu beliau bilang, “Universitas Negeri Solo kan, mbak?” Gubrak!

Oke Oke, emang kalau di daerahku UNS nggak sefenomenal UGM. Aku sempat berfikir, siapa sih anak Jogja yang nggak pernah punya mimpi bisa kuliah di UGM? Kayaknya nggak ada, deh! Beberapa berani mengejar mimpinya dengan benar-benar menyiapkan amunisi sebaik mungkin, beberapa nekat hanya bermodal mimpi dan harapan akan diberi keajaiban, dan beberapa memilih mundur teratur dengan alasan realistis aja, lah! Termasuk aku.

Awal masuk SMA cita-citanya pengen Farmasi, gara-gara pengen nyiptain obat ajaib yang bisa menyembuhkan segala penyakit tapi dengan rasa yang manis, secara ‘kan aku paling nggak suka yang namanya obat. Kalau sakit flu biasanya tak biarin aja berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu sampai sembuh sendiri. Kalau inget alasan yang ini kayaknya lucu aja, nggak masuk akal. Apalagi setelah tahu kalau basicnya kimia. Awal masuk SMA sih cinta mati sama mata pelajaran yang satu ini, tapi makin lama kok makin eneg aja. Kayak waktu minum obat, pengennya muntah. Alasanku meninggalkan Farmasi juga karena isu kalau anak SMASE itu susah masuk Farmasi UGM, ketinggian! Entah kenapa aku percaya aja waktu itu. Setahun kemudian, kakak kelasku keterima di Farmasi UGM lewat jalur SNMPTN. Aku sempat dikompori sama temanku, tapi aku sudah nggak tertarik karena aku sudah punya pilihan lain waktu itu, ciyee...

Kembali ke kelas satu. Setelah dibilang Farmasi ketinggian, aku mulai cari-cari yang sekiranya lebih rendah, tapi tetap UGM. Prinsipku waktu itu: apapun asal UGM. Setelah cari-cari info aku akhirnya tahu kalau beberapa kakak kelasku diterima di UGM jurusan Pertanian lewat jalur SNMPTN. (Ini jaman aku masih mendewakan dan berharap banyak pada jalur undangan, kayaknya enak aja nggak usah repot-repot ikut tes). Aku akhirnya punya prinsip tambahan: Kalau anak petani ya harusnya masuk jurusan pertanian, biar bisa memajukan kehidupan keluarga petani. Cita-cita ini bertahan hingga pertengahan kelas dua dan akhirnya berubah saat salah seorang guruku bilang, “Aku yakin kamu bakal diterima kalau kamu masuk Pertanian, tapi masalahnya nanti kamu mau jadi apa? Lha wong lahan pertanian aja sekarang udah jadi bangunan. Kalau cuma mau ngejar jalur undangan, mendingan Ilmu Keperawatan aja, tiga tahun berturut-turut kakak kelas kamu lolos disana, peluangnya lumayan!” Setelah itu tahu ‘kan aku pengen jadi apa...?

Ilmu Keperawatan UGM menjadi cita-citaku selanjutnya. Sempat bertahan beberapa minggu sampai akhirnya kesempatan itu datang. Sekitar akhir februari, awal maret 2015. Aku ikut Olimpiade Sains bidang Informatika, tapi cuma sampai tahap 30 besar provinsi. Kami ber-30 sempat merasakan bagaimana rasanya jadi mahasiswa UGM, diajar sama dosen UGM, sama kakak-kakak dari UGM juga, langsung di labkom FMIPA UGM. Cuma seminggu, sih. Tapi setelah itu berakhir, rasanya ada yang hilang. Kalau kata Tere Liye, ada seseorang dalam hidupmu yang ketika  ia pergi, ia juga membawa sepotong hatimu yang lain, ceileh... Haha, lupakan hal itu.

Beberapa alasan membuatku memiliki cita-cita baru, yang awalnya aku nggak benar-benar yakin kalau itu adalah salah satu cita-cita, jujur, aku berharap lebih dari itu. Keinginan itu semakin memudar seiring gagalnya aku lanjut ke OSN. Apalagi tak lama setelah itu, pengumuman SNMPTN, lagi-lagi kakak kelasku berhasil lolos Ilmu Keperawatan UGM. Guruku bilang, “Keperawatan aja, ini sudah yang keempat lho, Ilmu Komputer terlalu sulit, terlalu tinggi.” Dan lagi-lagi aku menyerah.

Beberapa bulan aku berusaha menipu diri sendiri, selalu berkata inilah pilihan terbaik, tapi ternyata hati tak bisa dibohongi. Diam-diam aku menyimpan keinginan ini, sembari meluruskan niat. Aku ingin masuk ke jurusan ini karena memang hatiku memilihnya, bukan karena orang lain.

Februari 2016, saatnya menentukan masa depan, SNMPTN sudah di depan mata. Awalnya aku masih terus diam, tapi akhirnya seseorang mengetahuinya. Aku terlalu takut, aku pengecut. Melihat banyaknya pendahuluku yang gagal, aku jadi kehilangan nyali. Ah, kalau tak terusin malah jadi curhat, nih! Ini, langsung aja tak kasih tahu betapa aku menyimpang dari jalur karena satu alasan: realistis, yang sebenarnya menjadi topeng untuk menutupi betapa pengecutnya diriku.

Kartu peserta dan hasil SNMPTN


Banyak yang kaget atas apa yang sudah aku putuskan. Aku hanya ingin kuliah tahun ini. Aku merasa terlalu egois kalau mengikuti pilihanku sendiri. Aku ingin membuktikan pada seseorang yang sudah meragukanku kalau aku bisa kuliah. Sebenarnya nggak masalah kalau hanya padaku beliau bilang begitu, tapi aku nggak terima kalau dia juga merendahkan orangtuaku. Aku bisa kuliah, dan aku akan membuktikannya. Awalnya aku menghibur diri sendiri, nggak papa, aku cuma butuh terbiasa. Tapi ternyata nggak semudah itu. Semakin hari aku semakin cemas, bukannya takut nggak keterima tapi malah takut kalau diterima. Aku mungkin tipe orang yang mudah terpengaruh. Beberapa orang mulai dari guru BK sampai teman dekatku menyangsikan pilihan keduaku. Bahkan temanku bilang, “Kenapa Bahasa Jawa? Makin lama Bahasa Jawa itu makin hilang, terus kamu mau gimana?” Akhirnya secara nggak sadar aku sering bilang, lebih baik aku gagal SNMPTN daripada diterima di pilihan kedua, toh pilihan itu nggak benar-benar berasal dari hatiku, dan malaikat mengamininya, Tuhan mengabulkannya.

      Sedih? Mungkin tepatnya kaget. Nilaiku termasuk lumayan di sekolah, pilihanku juga nggak muluk-muluk. Bahkan termasuk yang jarang dipilih. Entah apa yang salah, tapi satu hal yang pasti aku menjadi lega setelah itu. SBMPTN rencananya aku ingin mengikuti kata hatiku, IT. Saking pinginnya aku masuk jurusan itu, aku sampai hampir ikut tes program beasiswa penuh di salah satu Universitas swasta di Bandung. Tapi karena biayanya empat ratus ribu, dan sampai hari terakhir pembayaran aku belum juga yakin untuk mengambil tabunganku, jadi aku mundur. Lagian juga tesnya ada fisikanya, aku agak gimana gitu kalau sama pelajaran itu.

Nomor transaksi seleksi beasiswa JPU Telkom University

Tapi sebelum itu aku juga mengikuti seleksi salah satu perguruan tinggi kedinasan yang sebenarnya aku sangat berharap bisa diterima disana. Alasannya bukan karena aku ingin masuk jurusan statistik, tapi karena di PTK itu ada jurusan Komputasi Statistik-nya, itu yang kukejar. Aku tahu aku belum bisa move on dari jurusan berbau komputer. Waktu itu 14 Mei 2016, aku ikut tes di FBS UNY. Satu hal yang jadi kesalahan terbesarku, aku lupa kalau poinnya benar 2 salah -1, bukan benar 4 salah -1 seperti tahun sebelumnya. Aku PD aja jawabnya, dan baru sadar kesalahan itu waktu udah diluar ruangan. Jadi hasilnya...

Kartu peserta dan hasil seleksi USM STIS

Jauh sebelum pengumuman (pengumuman tanggal 28 mei, tiga hari sebelum SBMPTN), tepatnyahari senin, dua hari setelah USM, aku bertemu dengan Ibu Wali kelasku, seorang guru kimia. Kami berbicara empat mata waktu itu. Beliau tidak menyuruhku mengambil pilihan ini atau itu untuk SBMPTN, tapi beliau mengatakan hal penting yang nantinya merubah prinsipku. 

Beliau menceritakan kisah hidupnya ketika masih diposisi yang sama sepertiku, tentang perjuangannya, pengorbanannya, hingga beliau bisa menjadi seperti saat ini. Karena beliaulah untuk pertama kalinya aku merasa menemukan akhir dari pencarianku, dan merasa yakin akan pilihanku. Pilihan yang benar-benar berasal dari hatiku sendiri, bukan karena siapapun. Tadinya aku mau ambil IPC, alasannya karena aku anak IPA, jadi harus masuk jurusan IPA juga. Tapi akhirnya aku memantapkan hati untuk mengambil SOSHUM. Buat apa memikirkan pendapat orang, ya, ‘kan?

Aku baru benar-benar serius belajar tiga hari sebelum SBMPTN. Nekat! Padahal sejak tiga tahun terakhir setiap hari aku selalu dijejali dengan materi IPA. Jujur, aku hanya mengandalkan feeling, dan percaya bahwa inilah jalanku. Tes SBMPTN tanggal 31 Mei. Entah kenapa aku benar-benar yakin sama pilihanku kali ini, aku bahkan sudah ikhlas kalau aku gagal di tes kedinasan. Dan saat pengumuman tanggal 28, alhamdulillah aku lega. Tanpa ada kecewa dan air mata (lagi).

Pengumuman SBMPTN tanggal 28 Juni 2016. Awalnya sempet kaget karena hasilnya ada merah-merahnya (keinget waktu nggak lolos SNMPTN), tapi ternyata...

Kartu peserta dan hasil SBMPTN


       Sampai sini, aku bingung mau nulis apa lagi. Alhamdulillah keterima, tapi di sisi lain masih banyak teman-temanku yang belum. Semoga saja kita semua diberi jalan terbaik.
Amiiin. Dan jalan ini, pilihan ini, semoga aku benar-benar bisa bermanfaat dan mengabdi atas nama kemanusiaan. Mungkin PLB nggak sekeren Ilmu Komputer/Teknik Informatika, tapi aku yakin satu hal: tak ada kejadian tanpa makna. 

Terima kasih untuk semua orang yang sudah membuka mata hatiku, menunjukkan jalan terbaik, membuatku terdampar di tempat terbaik, dimana hati dan pikiranku bisa berjalan bersamaan, tak berat sebelah kanan atau kiri, seimbang. Terima kasih untuk semua cahaya, yang membantuku melihat dunia saat aku mulai tak percaya indahnya kejutan Tuhan. Terima kasih untukmu, yang berkenan meluangkan waktu membaca catatanku. Do’akan aku mampu menjadi pendidik yang baik untuk anak didikku kelak, membuat mereka percaya kalau mereka adalah permata, apapun keadaan mereka. Membuat mereka tegar, mandiri, di sisi lain itulah yang membuatku tetap ada dan merasa utuh sebagai manusia...

        
“Sukses itu bukanlah saat kita bisa mencapai segala yang kita inginkan. Sukses adalah saat kita bisa melalui hari ini dengan bahagia. Bagaimana cara bahagia? Bersyukur. Dimulai dengan hal-hal kecil seperti bisa bernafas, bisa berjalan, bisa melihat. Bersyukur saat ternyata kita masih jauh lebih beruntung daripada orang lain” – Bu Darti


Selasa, 12 Juli 2016
Di kamar yang mungkin sudah kutinggalkan sebulan lagi
Hikmatul Khasanah

[latepost]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages