30 Days Writing Challenge: Tema 1 (Aku dan Ramadhan)

PART 1

Diya(s), lampu minyak tradisional dari India


Aku hanya mampu duduk terdiam di sampan yang membawaku semakin menjauh dari daratan. Suara riak-riak air yang bertumbukan dengan sampan yang membelah sungai tak cukup membuatku tergoda untuk sedikit saja bermain air dengan jemariku.
Aku tak mau, aku tak suka. Dingin, gelap, aku benci. Bukannya aku penakut, tidak! Tidak sama sekali! Kalau aku tak memiliki cukup keberanian mana mungkin aku berada disini, pasrah dengan nasib yang membawaku ke tanah antah berantah. Di seberang sana, Ibukota Kabupaten, kerlap-kerlip cahaya dari lampu-lampu kota masih semarak menyambut malam pertama bulan Ramadhan. Anak-anak kecil bermain petasan dan kembang api, riuh sekali. Ketika sampanku mulai menjauh dari Ibukota Kabupaten, aku baru sadar bahwa tempat yang kutuju sangatlah berbeda. Semakin gelap, asing, juga dingin
***
Malam itu, 15 tahun yang lalu..

Ayah mencengkeram kuat lengan kecilku. Melangkah keluar, ah tidak, lebih tepatnya menyeretku keluar rumah. Bau alkohol bercampur rokok masih tercium kuat olehku. Sementara ibuku berusaha melepaskan cengkeraman itu, memohon agar ayah melepaskan putri kecilnya yang saat itu merintih menahan sakit. Di sela rasa takut aku menatap mata ibuku, mata yang sekian lama menahan tangis, menahan beban hidup. Seperti malam ini, malam itu juga malam pertama bulan ramadhan. Kami sudah tak punya apa-apa walau hanya untuk makan sahur nanti. Tak seperti keluarga lain yang biasa menyiapkan hidangan istimewa di sahur pertama, keluargaku tak seperti itu.

Saat tak ada lagi yang bisa ayah jual untuk memenuhi hasratnya bermain judi, malam ini ia memutuskan untuk menjual putri sematawayangnya yang padahal baru mulai bisa baca tulis. Ibuku, seperti ibu-ibu yang lain, tentu saja akan melindungiku dengan berbagai cara. Saat ayah sedang berusaha mengikat tanganku yang terus meronta, dari arah belakang  kulihat ibu mengangkat kedua tangannya. Di bawah pendar lampu yang tak terlalu terang aku masih bisa melihat sesuatu mengkilap di tangan itu. “Ibu, jangan!”, aku ingin berteriak namun sayangnya sudah terlambat.

Malam itu kulihat ibuku berubah menjadi monster yang menakutkan, demi menyelamatkan masa depanku.
***
Masih terngiang di telingaku suara kerumunan orang yang berteriak ketakutan, suara ambulance, juga suara sirine mobil polisi. Diam-diam aku menyelinap pergi, menjauh dari orang-orang itu. Kakiku yang tanpa alas menjejak lembutnya pasir pantai tak jauh dari perkampunganku. Dari kejauhan nampak beberapa anak lelaki seusiaku bermain kembang api. Tampaknya mereka sangat bahagia menyambut bulan yang katanya penuh berkah dan ampunan.

Aku, gadis kecil dengan rambut terurai berantakan, berdiri mematung tanpa alas kaki, dengan gaun putih bercampur bercak darah yang berkibar-kibar tertiup angin. Salah seorang dari mereka mendatangiku. Sempat tertegun dengan penampilanku, namun ia segera mengabaikannya dan tersenyum padaku, mengulurkan satu bungkus kembang api yang isinya tinggal beberapa.

“Ayo kita main bersama! Siapa namamu?”, ujarnya.

“Diya. Namaku Diyandra!”
***
Aku sampai di tempat baruku. Perkampungan di pelosok negriku tercinta. Dimana alam dan tradisi masih saling menjaga satu sama lain. Tak ada listrik, hanya ada sedikit cahaya dari lampu minyak yang terpasang di setiap rumah panggung di perkampungan itu. Aku benci gelap, aku tak suka dingin. Tapi mulai sekarang aku harus belajar terbiasa. Di rumah kepala desa, tempat ku berteduh selama tinggal disini, aku melihat suatu lampu minyak yang unik.

“Namanya diya! Dulu ada seorang yang juga kesini untuk mengajar, dia membawanya dan meninggalkannya untuk kami! Dia bilang itu lampu tradisional dari India, terbuat dari tanah liat yang diisi minyak dan diberi gulungan bola kapas sebagai sumbunya. Cantik, bukan?”, ujar kepala desa.

Ya, secantik namanya. Diya, seperti namaku. Mungkin aku juga harus seperti itu. Menjadi cahaya kecil dalam kegelapan. Meski kecil setidaknya aku tahu sesuatu. Aku masih bisa bermanfaat untuk orang lain. Menjadi lampu kecil yang membawa kebermanfaatan bagi orang lain, segelap apapun kehidupanku, sedingin apapun masa laluku. (@hikmatul.khs)

[bersambung..]






*Tulisan ini adalah hasil program 30 Days Writing Challenge dari Infinity Lovink, connecting and inspiring women


➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖ 
Follow me
👩 fb: Hikmatul Khasanah
📷 ig: hikmatul.khs
📺 blog: hik-k.blogspot.com


Follow us

👩 fb: Infinity Lovink

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages