30 Days Writing Challenge: Tema 5 (Kesyukuran)

Part 5 



Tempat tinggal Muni cukup jauh dari sekolah, tepatnya di sebuah rumah apung di sungai utama yang mengalir membelah kabupaten itu. Sebuah sungai yang sangat luas hingga menjadi peradaban baru, sebagai tempat tinggal dan juga tempat hidup. Di perkampungan tempat Muni tinggal sebagian besar penduduknya hidup dengan mencari ikan di sungai. Mungkin memang hasilnya tak seberapa, namun kalau tidak demikian bagaimana mereka akan bertahan hidup? Sejauh mata memandang hanyalah air dan rawa berlumpur, tak ada lahan untuk bercocok tanam

Kutarik tuas penggerak mesin perahu motor itu dan perlahan bergerak ke tengah. Sebuah pengalaman pertama bagiku menjalankan perahu itu dengan bimbingan seorang gadis kecil berusia 7 tahun. Tampaknya dia sudah terbiasa melakukannya. Tanpa segan ia memberitahuku apa yang harus kulakukan. Aku sudah berjanji pada ibunya untuk melakukan semua ini agar ia mengizinkan putrinya kembali ke sekolah, meskipun aku harus merelakan setiap akhir pekanku untuk ini.

“Muni, kalau sudah besar nanti kamu mau jadi apa?”

“Aku ingin menjadi orang kaya, Bu! Aku tidak mau melihat ibuku kesusahan lagi! Mungkin aku akan menjadi juragan perahu biar bisa mendapat uang sewa. Atau mungkin juga pengumpul ikan-ikan dari penduduk biar bisa dapat uang banyak ketika menjualnya di kota. Aku tidak mau melihat ibuku kecapekan lagi! Ibu sudah lelah mengurus ayah dan adek. Kadang Ibu berubah kalau pas capek. Ibu jadi suka marah. Aku takut!”

Seorang anak kecil dengan hatinya yang bersih, hati yang tak mampu berbohong. Itulah kodratnya, sebuah kenyataan yang tak pernah berubah sejak dahulu. Akan terus seperti itu hingga tangan-tangan kotor mulai mencoret kepolosannya, meracuni pikirannya.

***

Awalnya kukira ia akan melindungiku. Kukira di rumah kecil itu aku akan menemukan malaikat-malaikat seperti Dinar. Bahkan aku menaruh harapkan besar padanya untuk bisa mengeluarkan ibu dari tempat itu. Sayangnya semua anganku salah. Jangankan malaikat, dia ibarat monster baru dalam kehidupanku.

Aku segera menyadari sesuatu, ada racun dibalik kata-katanya yang manis. Bisa-bisanya ia membohongi setiap orang, memanfaatkan anak-anak kecil untuk mendapat belas kasihan. Tapi apa yang ia lakukan pada kami? Sungguh biadab!

15 tahun yang lalu, saat hati ini mulai ternoda...

Jelas saja, awalnya aku menolak. Bagaimana mungkin aku harus pura-pura cacat demi mendapat recehan dari mobil-mobil mewah yang terpaksa berhenti di lampu merah? Yang buta lah, yang pincang lah, aku harus melakukan semua itu. Tapi mau bagaimana lagi? setidaknya dengan begitu ia masih memberiku makan dan tempat tinggal. Setidaknya aku tidak mati kelaparan dan kedinginan.

Tapi itu saja tak cukup! Apa yang kudapatkan hanya dengan seperti itu tak pernah dianggap cukup olehnya. Ternyata ia lebih kejam dari yang kupikirkan. Aku sudah merasa sangat berdosa saat membohongi orang-orang. Tapi itupun tak cukup membuatku bisa merasakan makan kenyang, bisa tidur dengan nyaman. Jika hanya seperti itu bisa saja aku makan nasi basi atau sepotong roti setiap hari, kedinginan karena tidur di luar setiap malam, bahkan saat hujan.

15 tahun yang lalu.. Diyandra kecil mulai lupa apa yang diajarkan ibunya selama ini. Diyandra kecil tak lagi perduli apa itu dosa. Bukan hanya belajar berbohong, ia juga melai belajar mencuri, mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Terserah! Asal masih bisa hidup, asal masih bisa makan, asal masih bisa tidur dalam kehangatan.

Aku tak lagi mengenal baik-buruk, surga-neraka. Bagiku itu hanyalah dongeng masa kecil yang sudah menguap begitu saja. Aku tak lagi perduli!

***

“Bu Diya?”, tanya Muni menyadarkanku.

Untuk beberapa saat aku terkesiap. Butuh beberapa saat pula sebelum aku bisa mengucapkan sesuatu. Aku ingin menceritakan dunia yang lebih luas padanya, lebih dari yang bisa ia bayangkan. Tentang dunia luar yang begitu terang dan mengagumkan. Tentang dunia luar yang banyak memberi janji dan ilusi. Tentang dunia luar yang gemerlap sekaligus kejam pada saat yang sama. Aku ingin dia mengetahuinya. Bahkan tentang duniaku sebelumnya, aku ingin mengatakan semuanya. Tentang bagaimana bersyukurnya aku bisa terlepas dari masa laluku. Aku ingin dia belajar dari itu semua. Tentang dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Aku tak mampu berkata-kata. Hanya sedikit permintaan,  “Ibu ingin kamu kembali ke sekolah!” Cukup, itu saja. (@hikmatul.khs)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages