Part 3
Aku
masih sabar menunggu hingga akhirnya sampan itu perlahan menepi. Kuhampiri kedua
muridku itu, Muni dan ibunya.
“Dapat
banyak, Bu?”
“Ya
syukurlah. Setidaknya bisa buat makan anak-anak”
Aku
tersenyum. Sementara itu kulihat raut wajah gadis kecil di depanku. Sepertinya
terkesan ia menghindar dari tatapanku. Mungkin aku tahu apa sebabnya. Hari ini
kelas satu ulangan harian. Muni tidak mengikutinya.
“Muni
besok bisa ikut ulangan susulan. Nggak papa, sayang!”
“Tadi
saya sudah memintanya untuk berangkat sekolah saja, Bu! Tapi dia ngotot mau
ikut saya, pengen bantuin kalau misal sewaktu-waktu adiknya rewel.”
Entah
mengapa aku merasakan suatu hal yang aneh. Mata gadis itu mengisyaratkan ada
keraguan. Sesekali ia mencuri pandang pada wajah ibunya yang berbeda dari
biasanya, datar tanpa ekspresi. Mata itu menanggung kecemasan, juga rasa takut.
Aku tahu itu.
***
Satu
persatu orang-orang mulai masuk ke ruangan itu, ruangan yang cukup luas
sebenarnya, namun terlihat penuh dengan deretan kursi. Ditengah keriuhan
suasana, seorang wanita paruh baya duduk seorang diri di kursi tengah ruangan.
Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Sementara aku duduk tak jauh dari sana, aku
takut, aku cemas.
Jaksa
mengungkapkan tuntutan-tuntutannya secara jelas. Tapi wanita itu diam saja. Tak
berucap sepatahkatapun. Aku ingin berteriak pada semua orang. Aku ingin
mengatakan semuanya. Tapi mereka menahanku.
“Terdakwa,
apakah anda mengakui atas tuduhan pembunuhan dengan sengaja terhadap korban?”
Wanita
itu tetap diam. “Ayo bicara bu, katakan yang sejujurnya!”, pintaku dalam hati.
Hakim
menegaskan perkataannya, “Sekali lagi apakah terdakwa mengakui atas tuduhan
pembunuhan dengan sengaja terhadap korban?”
Mulut
itu perlahan mulai bergetar, ibu akan mengatakannya. “Ya, saya melakukannya.
Saya membunuhnya! Saya akan menanggung apa yang sudah saya perbuat!”
Jlegg..
Apa yang kau katakan Bu? Kenapa seperti itu?
“Terdakwa,
Fatmala, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara!”, ujar Ketua Majelis Hakim diiringi
tiga kali ketukan palu. Orang-orang merangsek ke depan. Mereka marah. Tanpa
tahu apa-apa, mereka berusaha menyakiti ibu. Beberapa petugas mengamankan ibuku
dari amukan orang-orang.
Sudah
cukup! Apa-apaan ini? Kenapa ibu berkata seperti itu?
Hari
itu seorang gadis kecil berlari ke arah ibunya yang nyaris dihakimi masa.
Beberapa orang menahannya. Ia hanya mampu melihat ibunya dibawa beberapa orang
berseragam dengan tangan yang terbelenggu borgol.
“Ibu...
jangan bawa ibu.. jangan bawa pergi ibuku..!”
Aku
tak lagi melihat wajah datar tanpa ekspresi itu. Ia pergi tanpa menoleh
sedikitpun kebelakang. Mungkin teriakanku terlalu kecil dibandingkan pekikan
orang-orang yang menyumpahi ibu dengan sejuta kata-kata buruk, juga sumpah
serapah yang memekakkan telinga. Satu yang lebih kutakutkan daripada kenyataan
bahwa kami mungkin saja berpisah dalam waktu yang cukup lama, yakni
kekhawatiranku jika ia melupakanku. Aku tak punya siapapun lagi kecuali ibu.
Jadi tolong.. jangan pergi! Aku membutuhkanmu!
***
Beberapa
hari sebelumnya..
Masih
jelas di ingatanku saat ayah membenturkan kepala ibu ke almari. Lagi-lagi ayah
marah karena ibu tak bisa memberikannya uang. Tabungan ayamku sudah lama
dipecahkan ayah. Dan kini ibu, dengan uang hasilnya berdagang yang tak
seberapa, juga diambilnya. Padahal itu adalah uang jatah makan kami sekeluarga.
Entahlah mau makan apa kami di sahur pertama nanti. Aku tak tahu.
“Aku
takut, Bu! Kenapa Ayah sejahat itu?”
Wanita
itu membelai lembut rambutku. “Bagaimanapun juga dia ayahmu, yang harus kamu
hormati. Yang harus kamu junjung tinggi martabatnya! Meskipun ayahmu seperti
itu, kamu tetap punya kewajiban untuk membuatnya bangga. Semoga suatu hari
nanti Ayah bisa menyadari kalau ia memiliki putri yang sangat berharga, yang
cerdas, yang rupawan, yang patuh pada orangtua. Dan ia takkan menyianyiakan
anugerah itu!”
“Tapi
Ayah jahat, Bu! Kenapa kita tidak pergi saja?”
“Ibu
mencintai ayahmu. Dari pertama kali kami bertemu hingga kapanpun itu. Dan Ibu
sangat berharap kamu juga bisa seperti itu. Suatu hari nanti mungkin Ibu tidak
bisa lagi berada di sisi Ayah, kamulah yang harus menjaga Ayahmu untuk Ibu.
Diyandra bisa kan?”
Aku
tak mengiyakan, pun juga tidak menolak. Bagaimana bisa aku memiliki ibu dengan
hati selembut itu?
***
“Maafkan
aku suamiku. Seharusnya aku tak melakukan hal itu. Aku mencintaimu. Maafkan aku
suamiku. Seharusnya aku tak melakukan hal itu. Aku mencintaimu...”, wanita di
depanku terus menerus mengatakan hal yang sama sembari memainkan jari-jemarinya
di antara dinginnya jeruji besi. Lirih, pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya
dengan jelas. Diantara deru nafas tertahan, diantara pertanyaan-pertanyaan
yang tak kunjung ada jawaban.
“Kenapa
Ibu jadi begini?”, tanyaku kebingungan. Satu hal yang kutakutkan akhirnya
terjadi. Bukan masalah jarak yang memisahkan, lebih dari itu. Ibu sama sekali
tak mengingat apapun tentangku. Ia melupakanku begitu saja.
***
Jika
seseorang tak lagi berharga, untuk apa terus diperjuangkan? Jika toh ia sudah
melupakanku, kenapa aku harus mengingatnya? Luka itu kubawa hingga diriku
tumbuh dewasa. Ketika perlahan aku mulai terbiasa hidup tanpa ibu, ketika aku
mulai bisa hidup sendiri tanpa bergantung pada ibu. Saat itu aku mulai
melupakannya. Aku tak lagi butuh ibu. Sama sekali tidak!
Dasar
bodoh.. Kenapa dia mengatakan itu? Kenapa dia membuat kebohongan yang
memberatkan dirinya sendiri? Sudah jelas kedudukannya sebenarnya tak bersalah
di mata hukum, tapi kenapa dia mengatakan sebaliknya? Mengakui apa yang tidak
diperbuatnya? Hahh.. bagaimana mungkin ada orang seperti itu? Dasar bodoh..! (@hikmatul.khs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar