30 Days Writing Challenge: Tema 3 (I’m a Supermom)

Part 3



Satu jam.. dua jam.. tiga jam..

Aku masih sabar menunggu hingga akhirnya sampan itu perlahan menepi. Kuhampiri kedua muridku itu, Muni dan ibunya.

“Dapat banyak, Bu?”

“Ya syukurlah. Setidaknya bisa buat makan anak-anak”

Aku tersenyum. Sementara itu kulihat raut wajah gadis kecil di depanku. Sepertinya terkesan ia menghindar dari tatapanku. Mungkin aku tahu apa sebabnya. Hari ini kelas satu ulangan harian. Muni tidak mengikutinya.

“Muni besok bisa ikut ulangan susulan. Nggak papa, sayang!”

“Tadi saya sudah memintanya untuk berangkat sekolah saja, Bu! Tapi dia ngotot mau ikut saya, pengen bantuin kalau misal sewaktu-waktu adiknya rewel.”

Entah mengapa aku merasakan suatu hal yang aneh. Mata gadis itu mengisyaratkan ada keraguan. Sesekali ia mencuri pandang pada wajah ibunya yang berbeda dari biasanya, datar tanpa ekspresi. Mata itu menanggung kecemasan, juga rasa takut. Aku tahu itu.

***
Satu persatu orang-orang mulai masuk ke ruangan itu, ruangan yang cukup luas sebenarnya, namun terlihat penuh dengan deretan kursi. Ditengah keriuhan suasana, seorang wanita paruh baya duduk seorang diri di kursi tengah ruangan. Wajahnya datar, tanpa ekspresi. Sementara aku duduk tak jauh dari sana, aku takut, aku cemas.

Jaksa mengungkapkan tuntutan-tuntutannya secara jelas. Tapi wanita itu diam saja. Tak berucap sepatahkatapun. Aku ingin berteriak pada semua orang. Aku ingin mengatakan semuanya. Tapi mereka menahanku.

“Terdakwa, apakah anda mengakui atas tuduhan pembunuhan dengan sengaja terhadap korban?”

Wanita itu tetap diam. “Ayo bicara bu, katakan yang sejujurnya!”, pintaku dalam hati.

Hakim menegaskan perkataannya, “Sekali lagi apakah terdakwa mengakui atas tuduhan pembunuhan dengan sengaja terhadap korban?”

Mulut itu perlahan mulai bergetar, ibu akan mengatakannya. “Ya, saya melakukannya. Saya membunuhnya! Saya akan menanggung apa yang sudah saya perbuat!”

Jlegg.. Apa yang kau katakan Bu? Kenapa seperti itu?

“Terdakwa, Fatmala, dijatuhi hukuman 5 tahun penjara!”, ujar Ketua Majelis Hakim diiringi tiga kali ketukan palu. Orang-orang merangsek ke depan. Mereka marah. Tanpa tahu apa-apa, mereka berusaha menyakiti ibu. Beberapa petugas mengamankan ibuku dari amukan orang-orang.

Sudah cukup! Apa-apaan ini? Kenapa ibu berkata seperti itu?

Hari itu seorang gadis kecil berlari ke arah ibunya yang nyaris dihakimi masa. Beberapa orang menahannya. Ia hanya mampu melihat ibunya dibawa beberapa orang berseragam dengan tangan yang terbelenggu borgol.

“Ibu... jangan bawa ibu.. jangan bawa pergi ibuku..!”

Aku tak lagi melihat wajah datar tanpa ekspresi itu. Ia pergi tanpa menoleh sedikitpun kebelakang. Mungkin teriakanku terlalu kecil dibandingkan pekikan orang-orang yang menyumpahi ibu dengan sejuta kata-kata buruk, juga sumpah serapah yang memekakkan telinga. Satu yang lebih kutakutkan daripada kenyataan bahwa kami mungkin saja berpisah dalam waktu yang cukup lama, yakni kekhawatiranku jika ia melupakanku. Aku tak punya siapapun lagi kecuali ibu. Jadi tolong.. jangan pergi! Aku membutuhkanmu!

***
Beberapa hari sebelumnya..

Masih jelas di ingatanku saat ayah membenturkan kepala ibu ke almari. Lagi-lagi ayah marah karena ibu tak bisa memberikannya uang. Tabungan ayamku sudah lama dipecahkan ayah. Dan kini ibu, dengan uang hasilnya berdagang yang tak seberapa, juga diambilnya. Padahal itu adalah uang jatah makan kami sekeluarga. Entahlah mau makan apa kami di sahur pertama nanti. Aku tak tahu.

“Aku takut, Bu! Kenapa Ayah sejahat itu?”

Wanita itu membelai lembut rambutku. “Bagaimanapun juga dia ayahmu, yang harus kamu hormati. Yang harus kamu junjung tinggi martabatnya! Meskipun ayahmu seperti itu, kamu tetap punya kewajiban untuk membuatnya bangga. Semoga suatu hari nanti Ayah bisa menyadari kalau ia memiliki putri yang sangat berharga, yang cerdas, yang rupawan, yang patuh pada orangtua. Dan ia takkan menyianyiakan anugerah itu!”

“Tapi Ayah jahat, Bu! Kenapa kita tidak pergi saja?”

“Ibu mencintai ayahmu. Dari pertama kali kami bertemu hingga kapanpun itu. Dan Ibu sangat berharap kamu juga bisa seperti itu. Suatu hari nanti mungkin Ibu tidak bisa lagi berada di sisi Ayah, kamulah yang harus menjaga Ayahmu untuk Ibu. Diyandra bisa kan?”

Aku tak mengiyakan, pun juga tidak menolak. Bagaimana bisa aku memiliki ibu dengan hati selembut itu?

***

“Maafkan aku suamiku. Seharusnya aku tak melakukan hal itu. Aku mencintaimu. Maafkan aku suamiku. Seharusnya aku tak melakukan hal itu. Aku mencintaimu...”, wanita di depanku terus menerus mengatakan hal yang sama sembari memainkan jari-jemarinya di antara dinginnya jeruji besi. Lirih, pelan, tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas. Diantara deru nafas tertahan, diantara pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung ada jawaban.

“Kenapa Ibu jadi begini?”, tanyaku kebingungan. Satu hal yang kutakutkan akhirnya terjadi. Bukan masalah jarak yang memisahkan, lebih dari itu. Ibu sama sekali tak mengingat apapun tentangku. Ia melupakanku begitu saja.

***

Jika seseorang tak lagi berharga, untuk apa terus diperjuangkan? Jika toh ia sudah melupakanku, kenapa aku harus mengingatnya? Luka itu kubawa hingga diriku tumbuh dewasa. Ketika perlahan aku mulai terbiasa hidup tanpa ibu, ketika aku mulai bisa hidup sendiri tanpa bergantung pada ibu. Saat itu aku mulai melupakannya. Aku tak lagi butuh ibu. Sama sekali tidak!


Dasar bodoh.. Kenapa dia mengatakan itu? Kenapa dia membuat kebohongan yang memberatkan dirinya sendiri? Sudah jelas kedudukannya sebenarnya tak bersalah di mata hukum, tapi kenapa dia mengatakan sebaliknya? Mengakui apa yang tidak diperbuatnya? Hahh.. bagaimana mungkin ada orang seperti itu? Dasar bodoh..! (@hikmatul.khs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages