Kado Seperempat Abad: Kutukan Sepuluh November, Memoar, dan Pengakuan

The obj tea is too swift ;)

 

Disclaimer!

Tulisan ini didedikasikan untuk  seorang teman lama yang hari ini bertambah usia. Kemungkinan akan cukup panjang, berputar-putar, dan bisa jadi membosankan -apalagi bagi orang yang tidak menyukai tulisan dengan genre memoar. Sarat akan konten "curhat", tetapi penulis masih mencoba menyisipkan pengetahuan untuk kalian yang menyempatkan waktu untuk membaca, boleh di skip langsung ke bagian "Krisis seperempat abad, dst"


Ambil baiknya | Abaikan yang nggak penting | Dan jangan bully aku pliss ;)

---

Kutukan Sepuluh November

Ini tentang ulang tahun, sebuah tradisi yang - jujur saja- tidak terlalu spesial bagiku. Entah mungkin karena insiden salah tanggal di akta kelahiranku, atau mungkin karena memang aku tak terlalu akrab dengan tradisi ini. Tidak banyak moment ulang tahun yang kuingat sepanjang hidupku:

  • Sekali ketika SD aku berbagi sebungkus permen dengan teman-teman mengajiku. 
  • Sekali ketika SMP aku bertukar hadiah dengan sahabat dekatku, aku mendapat satu buku novel yang akhirnya aku sumbangkan ke perpustakaan Rohis saat SMA. 
  • Sekali ketika SMA saat aku kehilangan satu-satunya HPku, bukan HP mahal, hanya HP tiga ratus ribuan yang hanya bisa dipakai untuk telfon dan berkirim SMS. Bukan tepat saat hari ulang tahun sebenarnya, tapi itu sangat berkesan bagiku. Salah satu sahabat terdekatku memberiku HP Nokia milik kakaknya yang sudah tidak terpakai, yang hingga saat ini masih ada dan masih dipakai ibuku. Ketika dia ulang tahun, aku memberinya draft novelku yang saat itu belum pernah kutunjukkan pada siapapun. Hanya karena aku sangat dekat dengannya, dan aku percaya dia bisa menjaga "rahasia" itu. Hanya dengannya lah saat itu aku bisa bercerita segalanya, bahkan ketika aku merasa bahwa aku sedang jatuh cinta, untuk pertama kalinya.
  • Dan terakhir, ketika kuliah. Saat mau tak mau aku  harus tinggal dengan 19 orang yang benar-benar asing (baca: KKN). Aku sebenarnya cukup dekat dengan teman-temanku di UKM, tapi aku selalu bisa menghindar ketika hari-hari ulang tahunku. Alasannya? Aku sendiri tidak yakin kapan tepatnya tanggal ulang tahunku, apalagi tradisi ulang tahun di UKMku yang cukup kejam: diikat di kursi dengan tali webbing dan diberi ampas kopi khas sesi penyamaran seperti saat diksar.


Aku sungguh tak peduli dengan ulang tahun, entah ulang tahunku ataupun ulang tahun orang lain. Bahkan sering lupa karena kesibukan yang kulalui. Apa yang ada di pikiranku setiap bulan februari datang hanyalah tanggal ini rapat, tanggal ini survey, tanggal ini kinerja menyiapkan kegiatan atau proker ini itu. Bagaimana bisa aku melupakannya? Tentu saja bisa! Ibu kandungku sendiri saja lupa kapan ia melahirkan putrinya sampai-sampai berimbas pada akta kelahiran yang salah tanggal, hahaha.

Sungguh, itu bukan hal penting bagiku..

Aku tidak pernah benar-benar mengingat tanggal lahir orang. Lebih baik tidak tahu dan tidak mau tahu. Aku tidak suka berbasa-basi mengucapkan selamat untuk seseorang, apalagi di sosial media. Cukup sesekali mendoakan, dan itu pun biarlah hanya Tuhan yang mendengar. Tapi sayangnya, ada yang selalu setia mengingatkan. Ya, Facebook, si biru karya Mark Zuckerberg yang menyimpan banyak memori perjalanan generasi millenial.

 

Pernahkah kalian bertanya-tanya, mengapa di beranda Facebook selalu bertuliskan 
"Apa yang Anda pikirkan?"


Apa yang aku pikirkan ketika membuka halaman Facebook dan menemukan notifikasi bahwa seseorang berulang tahun hari ini? Apa yang seharusnya aku pikirkan? Kenapa aku harus memikirkan hal yang saat ini sedang aku pikirkan?

Ada sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, seorang filsuf ternama dari Perancis yang berbunyi: Cogito ergo sum atau yang bisa diartikan menjadi aku berpikir maka aku ada. Aku tak pernah menyangka bahwa satu dua kalimat yang tertulis di media sosial seperti facebook akan sangat mempengaruhi keputusan penting dalam hidupku. Tentu saja tidak bisa digeneralisir, hanya terjadi pada kasus-kasus tertentu.

Sebuah Memoar: Jatuh cinta, berkah atau kutukan sebenarnya? 

// Mengandung konten curhat, silahkan di skip bagi yang tidak berminat


Aku tidak benar-benar yakin. Tapi yang pasti, notifikasi-notifikasi facebook kerap membuatku berpikir, "Oh, ternyata aku sudah berjalan sejauh ini." Teringat bagaimana antusiasme teman-temanku saat SMP ketika pertama kalinya facebook mulai dikenal luas. Aku? Sama sekali tidak tertarik. Aku lebih suka menghabiskan waktu istirahat dengan berjalan di lorong-lorong perpustakaan dan berburu buku-buku fiksi yang menarik. Bahkan ketika di sela-sela pelajaran matematika guruku membahas tentang postingannya mengenai kegiatan pembelajaran eksklusif kami diluar kelas dan teman-temanku yang meramaikan postingan di wallnya, aku hanya memperhatikan, ikut tertawa mendengarkan celotehan-celotehan mereka. Aku masih tetap belum tertarik merasakannya sendiri. Bahkan ketika sepupuku yang saat itu masih SD memintaku untuk membuatkannya account facebook, aku tetap tidak tertarik untuk ikut membuat account pribadi untuk diriku sendiri. Sampai akhirnya negara api menyerang dan mengubah segalanya, dari aku yang tidak peduli sama sekali dengan dunia maya, menjadi aku yang  menjadi budak sosial media berawal dari tuntutan program kerja, lalu mulai memiliki sudut pandang lain tentang teknologi.


Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku akan membuat account media sosial pertamaku pada tahun 2015, cukup terlambat memang jika dibandingkan dengan teman-temanku yang lain, telat gaul istilahnya. 17 tahun usiaku saat itu, saat pertama kalinya aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang "seseorang".


Aku merasakan sesuatu hal yang aneh, benar-benar aneh. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang menari di perutku. Seingatku, aku pernah merasakan hal ini beberapa kali. Dulu ketika SMP aku sangat tertarik setiap kali guru matematikaku menantang kami untuk mengerjakan soal-soal olimpiade. Dan setiap kali kami berhasil menjawab benar dan cepat, kami akan mendapatkan "bintang" sebagai reward. Aku merasakan sensasi yang sama seperti saat itu. Perasaan tidak karuan saat berhadapan dengan soal-soal, dan juga rasa kagum yang mulai cenderung fanatik terhadap ibu guru matematikaku. Aku merasakan hal yang sama ketika SMA. Namun kali ini bukan soal matematika, melainkan soal-soal logika dan baris-baris pseudo pascal yang kulahap berhari-hari sebelum mengikuti olimpiade informatika. Bagaimana dengan guruku? Biasa saja. Kebetulan beliau adalah tetanggaku sendiri. Bahkan aku lebih sering memanggilnya "mas" dibanding "pak", bahkan ketika di sekolah.

Satu-satunya perkataannya yang masih membekas di ingatanku adalah ceritanya tentang mantan muridnya yang dulu lolos hingga OSN. Cerita kesuksesan si murid kesayangan itu selalu menemani hari-hari kami menghabiskan waktu di Labkom 2 dengan tumpukan soal-soal dan kertas coret-coretan. Cerita itu sudah seperti dongeng yang masuk ke alam bawah sadarku. Satu-satunya anak SMASE yang pernah lolos olimpiade sampai tingkat nasional, tapi malah ditolak UGM ketika SNMPTN. Berjuang SBMPTN dan diterima di jurusan impian dan bahkan menjadi ketua di himpunan dan organisasi pelatihan IT di kampusnya. Menjadi mahasiswa kesayangan dosen dan sekarang (waktu itu) sibuk mengajar anak-anak sekolah internasional untuk persiapan OSK, yang mana tentu saja mereka saingan kami. Bla bla bla. Haha, mungkin cukup menginspirasi, tapi di saat yang sama aku juga bosan mendengar cerita yang sama.

Apakah motivasi itu cukup? Ternyata tidak, saudara-saudara. Aku gagal di tahun pertama. Hanya selisih sekian poin dengan peserta lain yang lolos ke provinsi. Oh, ya sudah, tidak apa-apa. Masih ada kesempatan tahun berikutnya. Di klub kami sendiri (Klub? Entahlah apa namanya. Di bilang ekskul juga agak berlebihan sebenarnya, tapi prestasi terbukti ada) mengalami kesulitan regenerasi di tahun-tahun itu. Bisa jadi karena mulai angkatanku diberlakukan kurikulum 2013 yang membuat mata pelajaran TIK ditiadakan dan diganti dengan prakarya. Hhh, keputusan yang sangat disayangkan sebenarnya. Padahal di sekolahku pelajaran TIK tidak hanya mempelajari microsoft office, melainkan juga belajar tentang blog dan programming. Aku kehilangan kesempatan untuk mempelajari hal itu di dalam kelas. Sedangkan di luar kelas kami hanya dihadapkan dengan latihan soal dari soal OSK, OSP, dan OSN tanpa berkesempatan belajar coding langsung di komputer. Iya sih, paham. Prioritasnya memang berbeda. Angkatanku memiliki tanggung jawab lebih karena tahun kemarin belum ada yang lolos hingga OSP, hanya angkatan atasku dimana tahun itu mereka sudah harus fokus ujian nasional.

Singkat cerita..

Aku lolos ke tahap provinsi. Dan perwakilan dari SMA ku hanya aku dan satu lagi temanku anak Fisika. Aku akhirnya bisa bertemu dengannya ketika karantina persiapan OSP, seseorang yang tadinya hanya ada dalam bayang-bayang tanpa tahu seperti apa dirinya. Iya, dia guruku, mentorku lebih tepatnya. Bagaimana menggambarkan perasaanku saat itu? Entahlah. Aku bingung dengan diriku sendiri. Mungkin seperti yang dituliskan tante Dushka Zapata dalam jawaban ini.


Bisa dibilang ini menjadi titik balik kehidupanku. Bagaimana aku mulai berani bermimpi, bagaimana aku dipaksa bangun dari mimpiku dan melihat kenyataan, bagaimana mataku yang belum sepenuhnya terbuka mau tidak mau harus segera mengambil keputusan untuk melangkah, bagaimana urusan-urusan personal membuatku sangat bimbang dan bagaimana aku memberanikan diri untuk membelokkan arah. Aku sempat menuliskannya panjang lebar empat tahun yang lalu. Dan ternyata ini pertama kalinya aku menulis memoar sepanjang ini (lagi) di blog ini setelah empat tahun berlalu.

Quotes by Nora Roberts


Sebuah Pengakuan

// Satu hal yang baru aku sadari akhir-akhir ini: ternyata mimpi itu belum padam


Empat tahun tinggal di perantauan - yang tidak seberapa jauh sebenarnya- membuatku mengalami kehidupan yang naik turun. Banyak mencoba hal baru, kegiatan baru, bertemu orang-orang baru, membangun mimpi-mimpi baru, dan bahkan.. mencoba jatuh cinta dengan orang yang baru. Tapi itu tidak cukup untuk mengubur mimpiku yang lama. 


Aku merawat mimpiku karena diriku sendiri, bukan karena orang lain, bukan untuk orang lain. Hanya saja, aku terlalu takut memikirkan apa yang orang lain akan pikirkan tentangku. Dan ketakutan-ketakutan itu hanya akan membuatku berjalan di tempat, tanpa mengasilkan apapun.


Mengenal blog sudah cukup lama, namun aku tak pernah memiliki keberanian untuk mengungkapkannya kepada dunia. Padahal, apa salahnya? Aku hanya ingin menuangkan pikiran dan sudut pandangku disini. Kenapa harus memperdulikan tanggapan orang? Apapun yang kita lakukan, akan selalu ada orang yang tidak menyukainya, memandang rendah, atau bahkan tidak peduli sama sekali dan hanya menganggapnya angin lalu. Tapi di sisi lain, pasti akan ada orang yang mengapresiasi, meski hanya dalam diam. Kemungkinan terbaiknya adalah bisa jadi kita akan menemukan orang dengan pemikiran yang sama dan mungkin juga suatu saat nanti berkesempatan memperjuangkan hal yang sama. Semua kembali lagi dari sudut mana kita melihatnya, terserah kita akan mengingat bagian yang mana.


Jika dulu aku selalu bertanya-tanya, "Apa yang salah denganku?" Hari ini aku akan menjawab, "Tidak ada yang salah!" It's normal to be different. Orang lain juga memiliki suatu hal yang mendalam di hidup mereka, apapun itu. Terkadang, hal yang biasa bagi seseorang adalah hal yang luar biasa bagi orang lain. Toh, jalan hidup orang berbeda-beda, tidak bisa dipukul rata.


Kembali ke perasaan gamangku setiap membuka facebook dan disuguhi pertanyaan, "Apa yang Anda pikirkan?" Dan seperti ini lah jawabanku:

Jarang buka Facebook, sekalinya buka rasanya seperti..
There are butterflies in my stomach, always :)


Aku sudah tidak terlalu aktif di facebook, sudah lama tidak aktif malah. Tetapi akhir-akhir ini aku mulai tertarik dengan beberapa ilmu yang bisa aku dapatkan secara cuma-cuma melalui berbagai grup komunitas di facebook Aku sudah tidak terlalu peduli dengan aktivitas teman-teman SMP dan SMA yang beberapa masih wira-wiri di beranda. Selama bertahun-tahun history kolom searchku hanya tertuliskan satu nama. Iya, namanya. Kalau saja dia aktif di instagram mungkin saja sudah sejak lama aku menghapus account facebook-ku. Haha, aku yakin teman-temanku tidak ada yang menyangka bahwa aku sebucin ini. Wait wait, yakin nih? Seorang Hikmah, tergila-gila dengan seseorang yang bahkan hanya 'setengah nyata'? Astagaa..

Percaya lah, aku sudah berusaha mencari tahu berbagai penjelasan logis tentang apa yang sedang aku alami, mulai dari jurnal ilmiah hingga tulisan-tulisan genius di Quora. Bodohkah aku? Bisa jadi. Aku pernah mendengar ungkapan seperti ini: Kebodohan terbesar adalah membuat seseorang sebagai prioritas pertama kita yang padahal dia sendiri tidak peduli sama sekali dengan kita.

Ini benar-benar seperti kutukan. Di satu sisi aku menyadari bahwa aku perlu fokus dengan masa kini dan mempersiapkan yang terbaik untuk masa depan. Tapi di sisi lain aku tidak bisa menampik bahwa diriku masih terikat dengan sesuatu di masa lalu. Hingga suatu hari aku menemukan sebuah jawaban yang masuk akal seperti ini.


Dari tulisan tersebut aku bisa menyimpulkan sesuatu. Mungkin kita tidak pernah benar-benar melupakan cinta pertama kita, boleh jadi kita melupakan orangnya, tapi tidak mungkin untuk melupakan perasaan kita terhadapnya. Karena segala hal yang terjadi untuk pertama kalinya selalu mengesankan, karena perasaan itu adalah milik kita. Seseorang bisa saja melupakan perasaan mendalam terhadap seseorang atau suatu hal ketika ia mengingat bagian yang menyakitkan. Tapi dalam kasusku, aku sama sekali tak pernah merasakan yang namanya terluka atau dilukai. Segala hal yang kuingat tentang dirinya adalah perasaan berbunga-bunga ketika pertama kali jatuh cinta. Satu-satunya hal yang menyakitkan adalah bagian aku menyerah dengan mimpi dan cita-citaku saat itu, terlalu banyak mendengarkan perkataan orang lain, tidak berani mengambil resiko, dan pada akhirnya kehilangan satu kesempatan yang menjadi penyesalan bahkan hingga sekian tahun berlalu. Dan itu bukan karena dirinya, melainkan karena diriku sendiri. Karena aku tidak cukup yakin dengan diriku sendiri.


Bagaimana jika aku lebih berani mengambil jalan itu? Akan jadi seperti apa aku saat ini? Apakah sedang duduk di meja kerja dan fokus menatap baris-baris kode di layar monitor? Ataukah malah putus asa karena program yang kubuat kerap error? Atau bahkan lebih buruk dari itu? "Bagaimana jika" itu masih sering menghantuiku hingga saat ini.


Mimpi itu masih ada, masih kurawat diam-diam. Boleh jadi aku mengambil jalan yang menyimpang sekian derajat, yang lama-lama membuat jarak ini semakin besar dari tujuan awalku. Tapi mimpi itu terus tumbuh, dan berevolusi menjadi mimpi-mimpi yang lebih besar. Dan aku bisa melihat peluang itu. Hanya perlu mencari jalan menuju kesana, tidak perlu jalan memutar, tapi harus memotong kompas.


Kenapa kamu begitu terobsesi, Hik?

Entahlah. Aku masih bertanya-tanya juga, kenapa aku sebegitu kerasnya mengambil jalan ini? Apa yang sebenarnya belum selesai dari masa laluku? Benarkah aku terobsesi dengan sosok cinta pertamaku ataukah aku hanya terobsesi dengan cita-cita lamaku? Benarkah aku akan bahagia jika kelak aku berhasil mendapatkan dua atau salah satunya?


Aku tidak tahu, dan tidak benar-benar tahu. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan saat ini adalah mencobanya. Agar aku bisa tahu apa yang benar-benar aku inginkan, agar aku bisa benar-benar mengenali diriku sendiri. Berapapun harga yang harus kubayar untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Entah harus berjalan seorang diri karena berlainan jalan dengan jalur yang diambil teman-temanku, ataukah harus mengorbankan rasa nyaman dan mendobrak dinding yang selama ini kuyakini sebagai batas kemampuanku. Bisa jadi, jika aku berhasil melalui jalan ini aku akan mendapat sesuatu yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya, bisa jadi aku akan meraih sesuatu yang tak pernah kuimpikan sebelumnya.

If you don't go after what you want, you'll never have it.

If you don't ask, the answer is always no.

If you don't step forward, you'll always in the same place.

- Nora Roberts


Aku percaya bahwa ketika seseorang memiliki mimpi dan tujuan, sesulit apapun jalannya, seterjal apapun jalurnya, pasti ia akan mencari cara untuk melaluinya. Jika tidak bisa berlari ia akan berjalan, jika tidak bisa berjalan ia akan merangkak. Tentu lebih sulit, memang. Tapi bukan hal yang mustahil juga. Setidaknya itu hal yang worth it untuk diperjuangkan.


Obsesi bukan hal yang negatif. Dalam kasus tertentu, memiliki obsesi akan benar-benar membantu kita meraih hidup yang lebih baik. Simply because we really know what we want and what we want to be. Dengan begitu kita akan benar-benar tahu dengan jelas jalan mana yang harus kita lalui serta halangan-halangan apa yang mungkin akan kita hadapi kedepannya.


Satu demi satu halangan di depan harus disingkirkan. Dan salah satu halangan paling nyata yang ada di depan mata adalah: SKRIPSI.


Usiaku 22 tahun saat ini, hampir 23. Bagiku, ada tiga hal yang tidak lagi pantas dilakukan di usia ini, namun masih saja kujalani:

1. Merepotkan orang tua.

2. Punya banyak mimpi, tapi terlalu banyak terdistraksi omongan kanan kiri

3. Fallin' in love with someone we can't have


Dan ternyata, inilah gejala dari krisis seperempat abad yang kukira sudah pernah kualami di pertengahan masa kuliah (2017-2018), namun ternyata baru saja dimulai di penghujung masa studi. Sudah semester 9 tapi masih berkutat dengan skripsi. Punya banyak mimpi, ada banyak resource, tapi tak kunjung mengambil langkah pertama. Maunya melangkah ke depan, apa daya masih ada angan-angan yang belum tertuntaskan. Hahaha, welcome to the jungle, dear!

 

Krisis seperempat abad, pernahkah kamu mengalaminya?

Menurut sebuah infografis di Tirto.id, krisis seperempat abad atau yang biasa dikenal sebagai quarter-life crisis adalah periode saat seseorang berusia 20-an mengalami insecurity, keraguan akan diri sendiri, kecemasan, kehilangan motivasi, dan kebingungan yang berhubungan dengan masa depannya.


Pemicu krisis:

  • Perubahan besar/tekanan pada masa transisi dari remaja akhir ke dewasa awal.
  • Kesadaran tak punya tujuan hidup atau tujuannya tidak realistis begitu memasuki usia dewasa.
  • Banyaknya pilihan yang tersedia hingga tak bisa menentukan mana yang tepat.


Hal-hal utama yang menjadi sumber kegalauan:

  • Situasi keuangan yang dirasa kurang.
  • Tekanan untuk menikah dan memiliki anak sebelum usia 30 tahun.
  • Harapan adanya perubahan dalam karir.


Fase-fase dalam krisis seperempat abad 

Menurut Dr. Oliver Robinson dari Universitas of Greenwhich London, ada 4 fase quarter-life crisis:

Fase pertama, ketika seseorang terperangkap dalam suatu keadaan dan tidak bisa melakukan perubahan.

Fase kedua, dimana kita mulai percaya bahwa kita bisa mengubah keadaan, mulai memikirkan tentang berbagai kemungkinan yang bisa kita lakukan.

Fase ketiga, tentang membangun kembali kehidupan kita yang baru seperti yang sudah kita rencanakan di fase kedua.

Fase terakhir, saat kita mulai mempererat komitmen dari berbagai nilai, aspirasi, maupun ketertarikan yang sebelumnya sudah kita jelajahi.

 

---


#1 Percayalah, waktu luang itu jebakan


4 tahun bukan waktu yang sebentar sebenarnya. Rasanya seperti baru kemarin ketika kita berjuang mencoba-coba berbagai tes seleksi untuk mengenyam bangku perguruan tinggi. Hari demi hari berlalu dan memaksa kita untuk beradaptasi dan mendewasakan diri. Kuliah, organisasi, volunteer, atau apalah itu semua yang membuat kita menyibukkan diri dan terus berjalan kedepan. Setelah semua itu kita akan sampai dititik dimana tanggung jawab kita sebagai mahasiswa hampir selesai. Tinggal sedikit lagi, tinggal selangkah lagi. 


Semester tua, sudah tidak ada mata kuliah yang perlu diambil, tanggung jawab organisasi secara struktural juga sudah diselesaikan (beda halnya dengan tanggung jawab moral ya, ini mah konteksnya bisa seumur hidup). Di masa seperti ini, seharusnya sih bisa fokus skripsi. Tapi sayangnya, kita tidak mungkin hanya bisa fokus pada satu hal. Dengan segenap waktu luang yang kita miliki, pasti ada terbesit pemikiran untuk belajar hal baru, mencoba ini itu, dan tentu saja orientasinya sudah ke persoalan finansial dan penentuan arah hidup selepas lulus nanti. 


Kita butuh tegas pada diri sendiri. Mana yang harus kita usahakan saat ini, mana yang bisa ditunda nanti, mana yang bisa dicicil bersamaan tanpa mengganggu fokus pada prioritas utama. Disiplin itu sulit, apalagi kalau sudah ditampar realita kehidupan. Butuh komitmen dan tekad untuk bisa memanajemen waktu, tenaga, pikiran, dan tentu saja: uang. Termasuk juga ketegasan untuk mengeliminasi hal-hal yang tidak terlalu penting bagi hidup kita saat ini.


#2 Terlalu banyak mimpi, terlalu banyak sumber inspirasi, tidak semuanya bisa langsung dieksekusi


Skripsi itu mudah. Asal fokus mengerjakan pasti akan segera selesai. Terlepas dari segala faktor teknis dan non teknis yang memberatkan, tapi asal kita tidak kehilangan harapan untuk menyelesaikannya, pasti akan bisa dilalui. Nah, masalahnya adalah bagaimana caranya bisa fokus jika kita memiliki segudang mimpi yang ingin segera kita wujudkan? Tentu ada hal-hal yang perlu ditunda, dan itu butuh komitmen untuk melakukannya. Aku sempat terpikirkan omongan salah satu seniorku (dan mentorku sebenarnya) untuk Drop Out saja. Hahaha. Seperti masuk akal, tetapi terlalu beresiko. Tidak hanya bagi diriku sendiri, namun juga bagi keluargaku. Lagipula ini adalah bentuk tanggung jawabku atas pilihan yang sudah kuambil. Tanggung jawabku kepada orang tua yang menitipkan mimpi-mimpinya di pundakku, harapan-harapan mereka agar anaknya mengenyam pendidikan tinggi, bisa hidup layak dan dihormati orang, tidak seperti mereka yang hanya tamat SD dan SMP. Dan tentu saja tanggung jawabku kepada negara karena telah diberi kesempatan untuk bisa kuliah gratis dari uang rakyat, setidaknya tanggung jawab untuk menyelesaikan apa yang telah aku mulai.  

It's not what you are learning that is the problem but instead the way you are processing the information.

- Rob Doyle, Medium


#3 Yang paling penting diperjuangkan adalah masa kini dan masa depan, tapi..


Aku tidak ingin (lagi) menyesali apapun dalam hidupku. Ketika ada yang mengganggu pikiranku, aku akan memperjelasnya. Jika iya, lalu bagaimana? Jika tidak, ya sudah, tidak apa-apa. Aku masih punya jalan panjang untuk dilalui. Hidup terlalu singkat jika hanya dihabiskan untuk menerka-nerka. Apalagi menerka-nerka apa yang ada di hati dan pikiran. Karena "kode"nya manusia lebih rumit daripada "kode"nya komputer, setuju?

Serugi-rugi hidup adalah jika ada orang lain mengambil pelajaran dari yang kita alami; sementara diri sibuk mengagumi, dan atau menyesali.

- Salim A. Fillah


#4 Berpikir jauh ke depan, bukan hanya tentang diri sendiri dan keluarga, namun juga kebermanfaatan bagi masyarakat luas


Hik, coba buka lagi catatan 4 tahun silam. Masih ingat pesan Bu Darti? 


Dalam setiap keputusan yang kita ambil, disitulah kita belajar mendewasakan diri. Seseorang bisa memilih jalannya masing-masing, entah lewat kota, lewat hutan, atau lewat pantai, yang pasti dia akan belajar sesuatu dari perjalanan itu. Tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang perlu disesali. 


---

 

Epilog

Aku akan menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari surat yang ditulis oleh John Steinbeck (penulis dari Grapes of Wrath, Of Mice and Men, East of Eden) yang ditujukan kepada Thom, putra sulungnya, setelah Thom mengatakan pada ayahnya bahwa ia sedang jatuh cinta.

"Dan jangan khawatir tentang kehilangan. Jika itu adalah sesuatu yang tepat, maka akan terwujud. Hal yang paling utama adalah jangan terburu-buru. Yang baik tidak akan pergi."


Yang baik tidak akan pergi, yang baik tidak akan pergi, yang baik tidak akan pergi.. Aku mengulanginya berkali-kali di kepalaku. Waktu terlalu berharga untuk dibuang begitu saja. Lebih baik menghabiskan waktu untuk meningkatkan skill dan membuka peluang di masa depan.


Aku akan mewujudkan mimpi-mimpiku, satu demi satu. Pelan-pelan, tidak apa-apa. Kalian juga, ya!


"Yang aku dapatkan selama ini: pengalaman aku, perdramaan kehidupan ini, satu hal yang aku pegang teguh sekarang adalah love your self first guys, karena ketika kita sayang dengan diri kita sendiri kita jadi tahu oh gue butuhnya ini, gue nggak butuh itu, gue sukanya ini, gue nggak suka itu dan terus akan mudah bagi kalian untuk menentukan kalian akan jalan ke arah mana. Gitu."

- Jingga Arshabidari Primastiti, Mentor Satu Persen dalam podcast #10

 

---


By the way, #SelamatSeperempatAbad dan juga #SelamatHariPahlawan

 
/* Hopefully, one day we can meet again at a better time, place, and opportunity. Hopefully, there won't be any awkwardness like when I was late for attending your class on the day when we first met. Hopefully, there is no feeling of guilt and despair like when I found my failure to continue my journey to OSN and realized that I missed the opportunity to meet you again. When that day comes, I will dare myself to tell you everything. Before that, I wanted to improve myself, organize my future, and make myself feel appropriate only to say, "I've been admiring you for a long time. I want to get to know you better. I want to be your friend in real life." But if that day never comes, I want you to know that whether you realize it or not, you have become one of the heroes of my life. Thank you, my very inspiring OSP mentor. Happy birthday to you.. */

Selamat berproses menjadi lebih baik dan jadilah pahlawan terhebat untuk dirimu sendiri ;) 


---

 

I don't want to regret my decision anymore, whatever it is

PS. 

Butuh lima tahun bagiku untuk bisa menulis tentang hal ini. Aku hanya ingin menuliskan dan melepaskan semuanya, karena hanya dengan berani menuliskannya disini, aku merasa telah melewati salah satu hal paling menakutkan dalam hidup dan menjadi pahlawan untuk diriku sendiri. Perjalanan menuntaskan angan-angan masa lalu memang tidak mudah. Namun jika kita berhasil melaluinya, rasanya akan seperti melepas beban berat yang selama ini merantai langkah. Semoga tidak perlu ada konflik yang tidak-tidak karena tulisan ini. Hahaha, semoga. 


Pada akhirnya, boleh jadi kita akan bertemu dengan orang baru di masa depan. Boleh jadi kita akan memiliki mimpi lain di masa depan. Dan orang-orang yang kita temui sepanjang jalan akan mengajarkan banyak hal. Tentang berani bermimpi, berani mengambil keputusan hidup, berani mengorbankan banyak hal untuk meraih mimpi kita. Mengorbankan rasa nyaman, mengorbankan ikatan pertemanan, mengorbankan kesempatan untuk lebih dekat dengan keluarga, dan bahkan mengorbankan banyak mimpi kita yang lain agar lebih fokus pada satu hal.


At the end of the day,
 kita tetap akan berkontribusi dalam sosial dan masyarakat, entah dengan cara apapun, entah dengan jalan apapun.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages