30 Days Writing Challenge: Tema 2 (Berbagi Berkah)

PART 2



“Diy, aku ragu!”

“Kenapa? Bukannya sudah kita niati bersama untuk mengabdi disini? Percayalah.. kita pasti bisa!
Kupandang lagi kelas yang akan kami isi. Wajah anak-anak yang penuh harapan baru. Aku mulai memperkenalkan diri dan juga temanku. Aku bukanlah seorang guru, begitu pula dengan kawanku. Di satu kesempatan kami dipertemukan dalam sebuah misi kemanusiaan, sebuah misi untuk mewujudkan tujuan negara: mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perkampungan ini jauh dari gemerlap kehidupan kota yang tadinya sangat akrab dengan kehidupan kami. Dari kota terdekat, ibukota kabupaten, kami harus naik perahu bermotor melawan arus untuk sampai di perkampungan yang letaknya di hulu sungai. Pepohonan disini masih rimbun, nyaris seperti hutan. Terletak di kaki pegunungan, dengan lapangan berumput yang cukup luas di tengah desa.

Tak jauh dari lapangan berdiri sekolah tempat kami mengajar, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas dijadikan satu, hanya terpisah sekat-sekat dari papan triplek. Muridku beragam, mulai dari anak kecil hingga dewasa, bahkan ada yang sudah berumah tangga. Salah seorang anak didikku di SMA pergi ke sekolah sambil menggendong dan menyusui anaknya yang masih balita, sementara anak sulungnya juga menjadi muridku di SD kelas 1.

Pendidikan adalah hak segala bangsa, ya, itu benar. Tak ada kata terlambat untuk belajar dan memperbaiki diri. Pun begitu pula dengan mereka. Aku pun demikian. Aku yang bukan siapa-siapa harus belajar banyak untuk bisa mengajarkan lebih banyak. Meski sedikit, setiap ilmu yang kupunya akan kubagi, apapun itu. Bahkan aku lebih banyak belajar dari mereka. Tentang kehidupan, tentang semangat, tentang apapun. Sesuatu yang tak kutemukan di kota, aku menemukannya disini. Sebuah rasa entah apa namanya, kebahagiaan saat ikhlas berbagi dalam ikatan layaknya keluarga. Ya, inilah sesuatu yang hilang dariku sekian tahun terakhir, keluarga. Aku mendapatkannya lagi disini.

Suatu hari aku tak menemukan kedua anak didikku di kelas, Muni dan ibunya. Aku menemukan mereka ketika pulang sekolah, di tengah sungai dengan sampan, juga jala ikan. Kulihat perjuangan mereka dari tepian, Muni dan ibunya yang menggendong anak kecil di punggung. Belakangan kutahu ayah Muni sedang sakit, tapi bukankah mereka juga butuh makan?

***

“Kamu kenapa? Kamu lapar?” tanyanya saat aku hanya diam, tak menerima ataupun menolak sebungkus kembang api yang diulurkannya. Aku menggeleng pelan.

 “Ayo main bersama!” ajak anak lelaki itu sambil menggandeng tanganku, mendekat kearah teman-temannya. Mereka terus memandangku aneh. Tanpa banyak bicara mereka segera pergi satu persatu. Mereka menolak kehadiranku, entah karena takut ataupun karena alasan yang lainnya. Entahlah, aku tak mengerti.

Tanganku semakin erat menggenggamnya.

“Kamu kenapa?”

“Aku takut sendirian..”

“Siapa yang bilang kamu sendiri? Ada aku, Diy!”

Matanya terlihat tulus, sebening mata ibuku.

“Aku takut..”

Tanpa sadar butiran kristal bening mulai menggenang di pelupuk mataku. Kugenggam tangan kirinya lebih erat. Tangannya yang lain mengusap air mataku.

“Kau tahu.. jika air mata jatuh ke bumi, maka tanah di tempat kau berpijak akan menjadi tandus. Tanaman takkan bisa tumbuh, takkan ada makanan, tiada lagi harapan. Air mata yang jatuh ke bumi akan mematikan cita-cita orang lain, takkan ada masa depan yang lebih baik. Apakah kau ingin yang seperti itu?”

Diyandra kecil menggeleng lemah. Aku tahu apa yang dikatakannya berlebihan, tapi dia melakukannya tulus untuk menghiburku.
Dinar.. malam itu aku memandangmu bak malaikat yang sengaja diturunkan untukku, untuk menghapus kesedihanku, kekalutan, menenangkanku dari ketidakpastian. Dinar.. seperti percikan bunga api yang kita mainkan berdua malam itu, seperti cahaya kecil dalam gelap malam. Aku menemukanmu, seorang yang kuat untuk tempatku bersandar, ibarat pelabuhan yang harus menunjukkan bahwa dia cukup kuat untuk dijadikan tempat berlabuh. Dinar.. terimakasih atas segala yang kau berikan malam itu, juga malam-malam dan hari-hari selanjutnya. Aku merindukanmu..

“Kamu tak perlu takut! Aku akan melindungimu!”

Aku percaya padamu, pada seorang anak lelaki yang ternyata hanya terpaut beberapa tahun diatasku. Aku, gadis kecil yang baru belajar baca tulis, masih cukup polos untuk percaya begitu saja..

***
“Kamu yakin akan pergi ke tempat seperti itu?”, tanyanya sangsi. Aku hanya mengangguk.

“Kalau memang tekadmu sudah bulat aku tak bisa melarang. Yang pasti aku akan menunggumu pulang. Ini untukmu. Saat kau pulang nanti kita akan melanjutkan mimpi-mimpi kita!” ujarnya sambil mengulurkan sebuah kotak kecil berlapis beludru warna biru.

Aku membukanya. Sebuah cincin indah terlihat begitu manis disana. Aku tak bisa lagi diam saat dia memakaikannya di jari manisku, “Aku akan kembali dengan selamat. Tunggu aku!”

Suatu hari nanti aku akan pulang, aku akan kembali.. (@hikmatul.khs)

[bersambung..]






*Tulisan ini adalah hasil program 30 Days Writing Challenge dari Infinity Lovink, connecting and inspiring women

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖ 
Follow me
👩 fb: Hikmatul Khasanah
📷 ig: hikmatul.khs
📺 blog: hik-k.blogspot.com


Follow us

👩 fb: Infinity Lovink

➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages