“Kenapa? Bukannya sudah kita
niati bersama untuk mengabdi disini? Percayalah.. kita pasti bisa!
Kupandang lagi kelas yang akan
kami isi. Wajah anak-anak yang penuh harapan baru. Aku mulai memperkenalkan
diri dan juga temanku. Aku bukanlah seorang guru, begitu pula dengan kawanku.
Di satu kesempatan kami dipertemukan dalam sebuah misi kemanusiaan, sebuah misi
untuk mewujudkan tujuan negara: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perkampungan ini jauh dari
gemerlap kehidupan kota yang tadinya sangat akrab dengan kehidupan kami. Dari
kota terdekat, ibukota kabupaten, kami harus naik perahu bermotor melawan arus
untuk sampai di perkampungan yang letaknya di hulu sungai. Pepohonan disini
masih rimbun, nyaris seperti hutan. Terletak di kaki pegunungan, dengan
lapangan berumput yang cukup luas di tengah desa.
Tak jauh dari lapangan berdiri
sekolah tempat kami mengajar, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah
atas dijadikan satu, hanya terpisah sekat-sekat dari papan triplek. Muridku
beragam, mulai dari anak kecil hingga dewasa, bahkan ada yang sudah berumah
tangga. Salah seorang anak didikku di SMA pergi ke sekolah sambil menggendong
dan menyusui anaknya yang masih balita, sementara anak sulungnya juga menjadi
muridku di SD kelas 1.
Pendidikan adalah hak segala
bangsa, ya, itu benar. Tak ada kata terlambat untuk belajar dan memperbaiki
diri. Pun begitu pula dengan mereka. Aku pun demikian. Aku yang bukan
siapa-siapa harus belajar banyak untuk bisa mengajarkan lebih banyak. Meski
sedikit, setiap ilmu yang kupunya akan kubagi, apapun itu. Bahkan aku lebih
banyak belajar dari mereka. Tentang kehidupan, tentang semangat, tentang
apapun. Sesuatu yang tak kutemukan di kota, aku menemukannya disini. Sebuah
rasa entah apa namanya, kebahagiaan saat ikhlas berbagi dalam ikatan layaknya
keluarga. Ya, inilah sesuatu yang hilang dariku sekian tahun terakhir,
keluarga. Aku mendapatkannya lagi disini.
Suatu hari aku tak menemukan kedua anak
didikku di kelas, Muni dan ibunya. Aku menemukan mereka ketika pulang sekolah,
di tengah sungai dengan sampan, juga jala ikan. Kulihat perjuangan mereka dari
tepian, Muni dan ibunya yang menggendong anak kecil di punggung. Belakangan
kutahu ayah Muni sedang sakit, tapi bukankah mereka juga butuh makan?
***
“Kamu kenapa? Kamu lapar?”
tanyanya saat aku hanya diam, tak menerima ataupun menolak sebungkus kembang api
yang diulurkannya. Aku menggeleng pelan.
“Ayo main bersama!” ajak anak lelaki itu
sambil menggandeng tanganku, mendekat kearah teman-temannya. Mereka terus
memandangku aneh. Tanpa banyak bicara mereka segera pergi satu persatu. Mereka
menolak kehadiranku, entah karena takut ataupun karena alasan yang lainnya.
Entahlah, aku tak mengerti.
Tanganku semakin erat
menggenggamnya.
“Kamu kenapa?”
“Aku takut sendirian..”
“Siapa yang bilang kamu sendiri?
Ada aku, Diy!”
Matanya terlihat tulus, sebening
mata ibuku.
“Aku takut..”
Tanpa sadar butiran kristal
bening mulai menggenang di pelupuk mataku. Kugenggam tangan kirinya lebih erat.
Tangannya yang lain mengusap air mataku.
“Kau tahu.. jika air mata jatuh
ke bumi, maka tanah di tempat kau berpijak akan menjadi tandus. Tanaman takkan
bisa tumbuh, takkan ada makanan, tiada lagi harapan. Air mata yang jatuh ke
bumi akan mematikan cita-cita orang lain, takkan ada masa depan yang lebih baik.
Apakah kau ingin yang seperti itu?”
Diyandra kecil menggeleng lemah.
Aku tahu apa yang dikatakannya berlebihan, tapi dia melakukannya tulus untuk
menghiburku.
Dinar.. malam itu aku
memandangmu bak malaikat yang sengaja diturunkan untukku, untuk menghapus
kesedihanku, kekalutan, menenangkanku dari ketidakpastian. Dinar.. seperti
percikan bunga api yang kita mainkan berdua malam itu, seperti cahaya kecil
dalam gelap malam. Aku menemukanmu, seorang yang kuat untuk tempatku bersandar,
ibarat pelabuhan yang harus menunjukkan bahwa dia cukup kuat untuk dijadikan
tempat berlabuh. Dinar.. terimakasih atas segala yang kau berikan malam itu,
juga malam-malam dan hari-hari selanjutnya. Aku merindukanmu..
“Kamu tak perlu takut! Aku akan
melindungimu!”
Aku percaya padamu, pada seorang
anak lelaki yang ternyata hanya terpaut beberapa tahun diatasku. Aku, gadis
kecil yang baru belajar baca tulis, masih cukup polos untuk percaya begitu
saja..
***
“Kamu yakin akan pergi ke tempat seperti
itu?”, tanyanya sangsi. Aku hanya mengangguk.
“Kalau memang
tekadmu sudah bulat aku tak bisa melarang. Yang pasti aku akan menunggumu
pulang. Ini untukmu. Saat kau pulang nanti kita akan melanjutkan mimpi-mimpi
kita!” ujarnya sambil mengulurkan sebuah kotak kecil berlapis beludru warna
biru.
Aku membukanya.
Sebuah cincin indah terlihat begitu manis disana. Aku tak bisa lagi diam saat
dia memakaikannya di jari manisku, “Aku akan kembali dengan selamat. Tunggu
aku!”
Suatu hari nanti aku akan pulang, aku akan
kembali.. (@hikmatul.khs)
[bersambung..]
[bersambung..]
*Tulisan ini adalah hasil
program 30 Days Writing Challenge dari Infinity Lovink,
connecting and inspiring women
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Follow me
👩 fb: Hikmatul Khasanah
📷 ig: hikmatul.khs
📺 blog: hik-k.blogspot.com
Follow me
👩 fb: Hikmatul Khasanah
📷 ig: hikmatul.khs
📺 blog: hik-k.blogspot.com
Follow us
👩 fb: Infinity Lovink
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Tidak ada komentar:
Posting Komentar