Part 10
📷 pixabay.com
Langit senja semakin memerah, mentari siap kembali ke peraduannya. Jalanan di pemukiman itu semakin ramai dengan adanya pasar ramadhan dimana penduduk beramai-ramai menggelar lapak di halaman rumah. Anak-anak kecil berlarian kesana-kemari di pelataran sebuah masjid. Tampaknya mereka sudah selesai mengaji, tinggal menunggu waktu berbuka beberapa menit lagi. Seorang anak perempuan dengan jilbab merah muda terlihat tergesa-gesa megendarai sepeda kecilnya yang berwarna senada. Tapi tiba-tiba sepeda itu oleng dan..
Gubragg..
Aku segera berlari menghampiri
gadis itu. “Kamu tidak apa-apa? Hah? Jangan menangis!” ujarku sembari meniup
luka dilutut kanannya.
Seorang lelaki muda datang
menghampiri kami dan berlutut di hadapan gadis kecil itu. “Diana nggak boleh
cengeng! Sini abang obati lukanya, nanti abang kasih kembang api!”, ujarnya.
Seketika gadis kecil bernama
Diana itu berhenti menangis dan menurut saja saat pemuda itu menggendongnya di
punggung. Mereka berjalan meninggalkanku. Aku mungkin masih terdiam disana jika
saja pemuda itu tidak berhenti dan membalikkan badan kearahku.
“Kenapa diam disitu? Ayo!”
Aku menoleh kebingungan ke
kanan kiriku. “Heh, aku?”
Dia tak menjawab ataupun
mengiyakan. Aku segera mengekor di belakangnya. Mereka menuju salah satu ruangan
di sisi kanan masjid, dekat dapur.
“Diana sama kakak dulu, ya!
Abang mau ambil obat!”, ucap pemuda yang tampaknya seumurang denganku itu.
Tak lama kemudian ia datang
dengan membawa sekotak P3K dan sehelai kain bermotif bunga-bungaan. Ia
mengulurkannya padaku. “Tutup rambutmu dengan ini, ini di masjid!”
Dengan ragu, aku menerimanya.
Aku segera memakainya. Ahh, aku pernah melakukannya 18 tahun yang lalu. Tapi
kenapa aku terlihat canggung?
“Itu poninya masih kelihatan,
Kak! Sini aku benerin!”, ujar Diana sambil merapikan jilbabku. “Nah, kalau
begini ‘kan cantik!”
Aku hanya tersenyum simpul.
Sementara itu pemuda tadi dengan cekatan membersihkan luka Diana dan
mengobatinya.
Aku mengungkapkan pertanyaan
yang semenjak tadi membuatku penasaran. “Bagaimana kamu tahu kalau kalau Diana
akan berhenti menangis hanya dengan iming-iming akan diberi kembang api?”
“Entahlah! Ibuku dulu
menggunakan cara itu untuk membatnya berhenti menangis!”
Aku termenung hingga suara
adzan magrib menghentikan lamunanku. Ibu?
***
“Jangan dilepas, Bu! Diya
takut!”, ujarku sambil mengayuh sepeda kecilku sementara ibuku berlari-lari
mendorong di belakang. Sepeda yang awalnya oleng perlahan mulai stabil.
“Diyandra semangat! Diya pasti
bisa!”
Aku mendengar suara Ibu
menyemangatiku. Tapi, kenapa suara itu terdengar seperti dari jauh? Sepeda
kecilku mulai oleng lagi dan.. aku terjatuh.
“Kenapa dilepas? Sudah
kubilang jangan dilepas kenapa dilepas?” tanyaku marah sambil menahan tangis.
“Ibu minta maaf, sayang! Ibu
minta maaf, ya!”, ujar ibu sembari memeriksa lukaku.
“Ibu jahat! Diyandra benci
sama Ibu!”
“Ssstt.. Nanti Ibu belikan
kembang api, mau?”
Seketika itu pula tangisku
berhenti. Sore itu ibu menggendongku dipunggungnya sementara tangan kirinya
menuntun sepeda baruku, sepeda yang sebenarnya berwarna merah muda tapi sudah
memudar karena sudah cukup lama dipakai oleh pemilik sebelumnya. Ibu mengajakku
ke pasar ramadhan dan membelikanku sebungkus kembang api seperti yang
dijanjikannya.
Malamnya aku menghabiskan
waktuku bermain kembang api bersama ibu hingga waktu untuk shalat tarawih tiba.
Selalu seperti itu.
***
Anak-anak itu berlarian dan
tertawa ceria dengan kembang apinya masing-masing. Diana tampaknya sudah lupa
rasa sakitnya. Ia berjalan kesana-kemari dan tertawa seperti yang lain meski
harus terpincang-pincang.
“Kamu guru mengaji mereka?”
tanyaku pada pemuda yang belakangan kutahu dari anak-anak yang memanggilnya,
namanya Faraz.
“Bukan. Aku hanya membantu
kalau luang, kalau pas tidak ada jadwal di rumah sakit!”
“Kamu dokter?”
“Nggak juga, psikiater
tepatnya!”
“Ohh..”
Hanya begitu. Untuk beberapa
saat hanya keheningan diantara kami.
“Sepertinya kamu dari jauh? Tapi
seperti tak punya tujuan. Sebenarnya kamu mau kemana?”
Dia bertanya seperti itu
mungkin karena melihat penampilanku yang lusuh dan hanya membawa satu tas
kecil. “Aku ingin pulang. Aku pernah menghabiskan 7 tahun masa kecilku di
kampung ini!”
“Oh ya? Jadi kamu asli dari
sini? Rumahmu dimana? Kamu pasti ingin menemui orangtuamu, ‘kan?”
Aku menghela nafas sejenak.
“Ayahku sudah meninggal. Ibuku pergi, entah kemana. Kami sudah terpisah selama
18 tahun. Aku tak yakin bisa mengingat wajahnya lagi jika nantinya takdir
mengizinkan kami bertemu. Aku juga tak tahu bagaimana keadaan rumahku sekarang.
18 tahun berlalu. Banyak bangunan baru. Mungkin memang aku agak bingung, tapi
sepertinya aku masih bisa mengingat dimana letaknya. Terakhir kali ayahku pergi
dengan meninggalkan banyak hutang. Entah bagaimana nasib rumah itu sekarang,
masih ada atau tidak. Aku tak tahu!”
Faraz terdiam. Tak lama
kemudian ia berkata, “Pulanglah ke rumahku setelah shalat tarawih nanti. Tapi
sebelumnya aku ingin membelikan sesuatu terlebih dahulu untuk ibuku.”
***
Aku sudah bilang, aku pasti
mengenali rumahku. Entah kebetulan atau apa, tapi dulu ini adalah rumahku.
Faraz memintaku membawakan barang yang ingin dia berikan kepada ibunya, satu
kantung plastik penuh dengan bungkusan kembang api.
Rumah itu tak banyak berubah.
Hanya terlihat lebih layak dipandang karena beberapa renovasi. Halaman luas
penuh bunga-bungaan dan tanaman obat, sama seperti dulu. Pohon mangga di depan
rumah juga masih ada, lengkap dengan ayunan dari ban bekas. Sungguh, tak banyak
yang berubah dari rumah itu.
Seorang wanita tua duduk di
kursi goyang di teras rumah. Beberapa helai rambutnya sudah memutih. Aku yakin
umurnya yang sebenarnya jauh lebih muda dari penampilannya yang seperti itu.
“Ibu, Faraz pulang!”
Wanita itu bangkit dari
kursinya dan memandangiku dari bawah hingga atas.
“Dia temanku, Bu! Lihat apa
yang dia bawakan untuk Ibu!”
Ia meraih kantung plastik di
tanganku. Matanya sempat berbinar saat tahu apa yang kubawa. Tapi tak lama. Ia
segera mengabaikan benda itu dan kembali memandangiku. Ia meraba-raba wajahku.
Matanya berkaca-kaca hingga akhirnya ia mendekapku dalam pelukannya.
“Putriku telah kembali!”,
ujarnya lirih.
Ia mendekapku semakin erat,
seakan tak ingin melepaskannya.
“Bu, tapi dia teman baruku!
Dia bukan putri Ibu!”, ucapnya sambil mencoba melepaskanku dari dekapan ibunya.
“Maafkan ibuku, ya!”
“Dia putriku! Kamu tidak lihat
matanya? Bibirnya? Semuanya sama seperti milikku!”
“Tapi, bukan berarti dia putri
Ibu! Dia bukan Diyandra!”
Damn!
“Faraz, bukankah aku belum
mengenalkan diriku padamu? Diya, namaku Diyandra!”
“Diya?”
Wanita itu kembali memelukku.
Hangat sekali. Seperti pelukan yang kurasakan 18 tahun yang lalu. Aku
merindukannya. Bayang-bayang itu kembali hadir. Malam-malam berdarah, teriakan
orang-orang, hingga seorang ibu yang melupakan putrinya sendiri. Itu
menyakitkan.
Aku melepas pelukan itu dengan
paksa. Karena terlalu kasar wanita itu terdorong ke belakang, hampir terjatuh.
“Dia bukan ibuku. Ibuku sudah
mati!”, ujarku datar.
Aku membalikkan badan dan
melangkah pergi tapi wanita itu mencegahku. Dia berlutut dan memohon padaku.
Menangis dan memegangi kakiku. Menahanku agar tak lagi pergi meninggalkannya.
“Ibu minta maaf, Diya! Jangan
pergi!”
Tak sulit bagiku melepaskan
tangan lemah wanita itu. Ternyata aku belum sanggup melupakan lukaku. Serindu
apapun diriku pada masa-masa indah yang pernah kami lalui bersama, tapi
ternyata hatiku belum siap untuk kembali pulang.
Jika merindu dalam jarak sama
menyakitkannya dengan bertahan dalam ketidaknyamanan, apa yang akan kau pilih? (@hikmatul.khs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar