30 Days Writing Challenge: Tema 13 (Bahagiaku Menjadi Seorang Wanita)

Part 13 



Ibuku pernah berkata, wanita itu membawa tiga kebahagiaan dalam hidupnya. Pertama, saat ia terlahir sebagai seorang wanita dan menjadi keajaiban bagi orangtuanya. Kedua, saat ia menikah dan menjadi istri yang berbakti pada suaminya. Dan yang ketiga, saat ia ditakdirkan menjadi seorang ibu, yang menghadirkan satu lagi tawa ke dunia.

Kita tidak tahu kemana nasib akan membawa hidup kita. Seperti baru kemarin saat aku masih menjadi seorang gadis kecil yang tak bisa lepas dari ibunya. Tapi kini lihatlah aku. Aku mewarisi kecantikan ibu. Dan esok aku akan mendapatkan kebahagiaanku yang kedua. Bahagia? Kupikir begitu. Aku hanya harus mengikuti jalan takdir. Tanpa menolak, tanpa berontak. Cukup ikuti saja.

Entah kenapa pula malam ini sedikit berangin. Kebaya putih yang kugantung terlihat berkibar-kibar. Aku segera mendekati jendela dan menutupnya. Belum sempat kututup, aku melihat seorang wanita berdiri di luar seorang diri. Astaga! Bukankah itu..

Aku bergegas keluar. Tak kuhiraukan tetangga-tetanggaku yang berteriak padaku. Calon pengantin tak boleh keluar rumah, katanya. Omong kosong macam apa itu?

Wanita itu hanya diam dan menunduk. Kupastikan lagi keadaan sekeliling. Ternyata ia benar-benar seorang diri.

“Masuklah! Disini anginnya kencang. Kasihan bayimu,” ujarku sambil merangkulnya. Diam-diam kulirik perutnya yang mulai membuncit.

“Aku ingin bicara padamu. Tapi tidak disini. Bisa kita cari tempat lain?”

“Kita bisa bicara di kamarku!”

Aku memapahnya melewati pandangan sinis dan bisikan orang-orang yang membantu persiapan pernikahanku esok hari. “Dia temanku, Bu! Biarkan kami bicara sebentar!”

Ibu bukanlah seorang yang terlalu ikut campur dalam urusan pribadiku. Ia hanya mengangguk, mengiyakan.

Kututup jendela kamar yang tadi belum sempat kututup tanpa mengatakan apapun. Aku ingin dia memulai terlebih dahulu.

“Diyandra..” ucapnya setelah beberapa saat terdiam.

“Ya?”

“Apakah kamu benar-benar mencintainya?”

“Siapa yang kau maksud?”

“Bukankah besok kamu akan menikah? Apakah kamu benar-benar mencintai laki-laki itu? Apa dia laki-laki yang kau ajak ke pernikahanku?”

Kutatap tajam bola matanya, mencoba mencari tahu ke arah mana ia ingin menggiringku. “Kamu pikir aku masih menyimpan rasa pada suamimu? Asalkan kamu tahu, aku bukan wanita rendahan yang mengambil seseorang yang telah menjadi milik orang lain. Aku bukan wanita seperti itu.”

“Bukan begitu maksudku, Diy! Aku tak bermaksud menganggapmu rendah. Aku hanya..”

“Ya aku tahu. Kamu tahu persis wanita rendahan itu yang seperti apa. Tapi bukan saatnya kamu tertawa diatasku. Hidupku terlalu sempurna kalau hanya untuk ditertawakan oleh wanita sepertimu.”

“Cukup, Diy! Jangan berpura-pura lagi! Aku tahu kamu bohong. Kamu masih mencintai Dinar, aku tahu. Kalian saling mencintai, lalu kenapa kalian tak kembali bersama?”

“Apa kamu gila? Besok hari pernikahanku. Mana mungkin aku begitu bodohnya meninggalkan semua ini dan kembali memungut sampah yang sudah kubuang dengan tanganku sendiri?”

Plakkk

Dia menamparku keras. Aku balik menamparnya, tak peduli dia hanyalah seorang wanita hamil yang lemah. Tapi dia sudah keterlaluan.

“Jangan bilang dia sampah! Bagaimanapun juga kamu sudah menghabiskan setengah umurmu bersamanya. Aku mungkin tak tahu malu. Tapi kumohon, kembalilah padanya! Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik untuknya. Tapi apa dia pernah memandangku sedikitpun? Tidak! Setiap hari dia hanya menyebut namamu. Diyandra.. Diyandra.. Selalu Diyandra. Kamu pikir aku bahagia dengan pemberianmu itu? Tidak, Diy! Aku tak pernah bisa memberinya kebahagiaan, tak sekalipun! Bahkan saat malam itu terjadi. Ia melihatku sebagai dirimu. Bahkan saat aku merasakan kebahagiaan darinya, dimatanya hanya ada kamu. Kembalilah padanya, Diy! Dia tak bisa hidup tanpamu!”

“Apa maksudmu? Dulu kamu memintanya dariku tapi sekarang malah mengacaukan pernikahanku dan memintaku kembali padanya? Kamu benar-benar gila, Vina!”

“Iya, aku memang gila! Aku juga ingin seperti wanita yang lain. Aku ingin menikah dan memiliki anak. Tapi aku tahu hidupku tak lama. Aku sakit, Diy! Dan aku ingin merasakan kebahagiaan itu sebelum aku mati. Aku ingin menjadi wanita yang sempurna. Saat aku mendapatkan Dinar, kukira semua mimpiku perlahan akan menjadi nyata. Tapi ternyata tidak. Aku salah, Diy! Maafkan aku! Kembalilah padanya, kumohon!”

“Kamu pikir aku percaya omong kosongmu? Aku sudah muak dengan semua permainanmu. Aku lelah. Aku tak peduli kamu sakit atau bahkan mati. Kalau kamu tak bahagia, itu mungkin hukuman untukmu. Tapi tolong jangan halangi kebahagiaanku. Aku juga ingin menjadi wanita yang sempurna. Aku ingin melangkah tanpa terbayang-bayang masa lalu. Tolong jangan ganggu aku lagi. Pergilah sekarang atau aku akan mengusirmu!”

Dia berlutut dihadapanku sembari memegangi perutnya.

“Kumohon, Diy! Aku sakit! Tolong aku!”

Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk dihadapanku. Wajahnya pucat pasi. Dan, cairan apa itu? Aku harus bagaimana?

Tanpa kusadari ternyata ibuku sudah berada di ruangan ini. “Ketubannya pecah. Panggil Bu Bidan, Diy!”

Seluruh tubuhku gemetar. Aku kalut.

“Tunggu apa lagi? Cepat! Apa kamu ingin bermain-main dengan nyawa seorang ibu dan bayinya, hah?” tanya ibu sedikit membentak.

Aku segera berlari keluar. Jadi begini rasanya bagaimana wanita berjuang menjadi seorang ibu?

***

Tangis pertamanya membuatku merinding, trenyuh. Makhluk kecil bersimbah darah itu hadir diantara ketegangan kami. Keajaiban. Ya, aku merasakannya. Menimang tubuh mungilnya membuatku lupa akan luka yang kudapat dari kedua orang tuanya. Dia.. adalah keajaiban bagiku.

“Dia juga putrimu, Diy!” ucap wanita itu lemah.

Kutatap matanya lekat-lekat. Tanpa terasa bola mataku mulai berkaca-kaca.

“Jadilah ibunya. Aku mungkin sebentar lagi akan pergi. Dan aku telah memilihmu untuk menjadi ibunya. Kamu mau, ‘kan?”

“Apa yang kamu bicarakan? Bagaimana mungkin aku ibunya? Dia membutuhkanmu. Kamu lah ibunya, Vina! Kamu pasti bisa bertahan.”

“Aku titip anakku, Diy! Jaga dia! Juga ayahnya. Dia bukan ayah yang baik saat ini. Aku tak bisa meninggalkannya hanya dengan ayahnya. Aku lebih tenang dia bersamamu. Jadilah ibunya. Lalu pantaskanlah Dinar menjadi ayahnya. Kamu bisa melakukannya, ‘kan?”

“Jadi menurutmu dia tak pantas?”

“Bukannya tidak, tapi belum. Kamulah yang harus mengajarkannya bagaimana menjadi ayah yang baik.”

“Kenapa aku? Kenapa harus aku?”

Nafasnya mulai tersengal-sengal. “Karena kamu ibu terbaik bagi Shara! Bahkan aku sudah bisa melihatnya saat ini. Shara akan tumbuh menjadi gadis manis bersamamu. Dengan ayah ibunya, ia akan hidup bahagia.” Suaranya semakin lirih dan akhirnya benar-benar menghilang.

“Vina?”

***


“Kau tahu? Diantara kebahagiaan yang dibawa oleh seorang wanita, keajaiban terbesar yang dimilikinya adalah saat ia menjadi seorang ibu. Kalau kamu bertanya, apakah aku menyesal atas hidupku selama ini? Tidak! Aku tak menyesalinya sama sekali. Hanya dengan terlahir menjadi wanita, aku sudah bahagia. Saat aku menjadi seorang istri, aku merasa kebahagiaanku semakin lengkap. Dan ketika dia hadir dalam hidupku, aku merasakan kesempurnaan seorang wanita. Meskipun saat itu pula aku harus kehilangan semuanya. Aku bahagia.” - Vina (@hikmatul.khs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages