30 Days Writing Challenge: Tema 8 (Harapanku Untuk Indonesia)

Part 8 



Kutatap satu persatu wajah anak didikku. 3 tahun sudah aku membersamai mereka. Muni tumbuh menjadi gadis manis dengan segala kecerdasannya. Ibunya yang sudah berhasil kubujuk untuk kembali ke sekolah kini sudah mendapat ijazah SMA nya. Juga murid-muridku yang lain, yang mulai berani bermimpi dan perlahan mewujudkannya. Tugasku disini sudah selesai. Mereka akan mendapat guru baru yang tentunya lebih baik dariku. Karena program yang digulirkan pemerintah kini mereka bisa diajar oleh guru yang lulusan sarjana.

“Terimakasih telah mengajarkan Ibu banyak hal. Entah Ibu bisa kembali kesini atau tidak, tapi kalian harus tetap menjaga mimpi-mimpi kalian. Suatu saat kalian juga harus pergi karena dunia terlalu luas untuk dijelajahi. Pergi bukan berarti menghilang. Kalian tetap harus kembali pulang dan membangun desa ini. Negeri ini butuh kalian. Mengerti!?”

***

Aku ingin memulai segalanya dari awal lagi. Menjadi Diyandra yang baru dengan kehidupan baruku. Pengalaman 3 tahun itu membuatku semakin dekat dengan anak-anak. Aku ingin mereka punya mimpi yang akan membuat mereka tetap hidup, saat luang maupun dalam tekanan. Ya, mimpi memang membuat orang tetap hidup, karena orang akan berpikir bagaimana harapan itu bisa menjadi nyata. Aku memang bukan orang berpendidikan, hanya sedikit tahu baca tulis dan hitungan. Tapi setidaknya aku bisa membuat anak-anak itu lebih baik daripada aku. 

Teruntuk Indonesia, di tanahmu aku ingin menjalani hidup yang lebih bermakna. Untukmu Indonesia, yang butuh generasi cerdas nan bijaksana, mungkin dengan sedikit peranku aku bisa membantu mewujudkannya. Aku memutuskan untuk kembali mengajar. Kali ini tidak di sekolah seperti sebelumnya, tapi di jalanan, tempat dimana aku menghabiskan sebagian besar hidupku untuk berjuang. Aku tak mungkin menghentikan kegiatan mereka –mengemis, menipu, bahkan mencuri- karena memang hanya dengan itu mereka bisa hidup. Tak mudah menjaga semangat mereka untuk belajar. Di antara berbagai pilihan, hidup untuk belajar, atau bekerja untuk hidup. Semua kembali padamu, Indonesia.

***

Suatu hari seseorang datang padaku saat aku tengah mengajar. Seorang gadis muda dengan penampilan cukup polos. Aku hampir saja tak mengenalinya karena penampilannya itu. Sangat berbeda dari yang kulihat tempo hari. Tapi itu benar-benar dia, gadis yang bersama Dinar malam itu.

Dia melambai kearahku. Ya, itu benar-benar dia. Rambut panjangnya tergerai, menambah manis senyum kecilnya. Dia lebih cantik jika seperti itu daripada saat malam hari.

“Sepertinya kamu sangat menyukai anak kecil?” tanyanya basa-basi. Mau tak mau aku harus menanggapinya. “Sebelumnya tidak. Mungkin sejak aku mulai mengajar anak-anak itu semuanya berubah. Lihatlah matanya. Mereka polos, tanpa dosa. Entah kenapa mereka harus merasakan kehidupan seperti ini!”

“Menurutmu kenapa mereka seperti itu?”

“Apa maksudmu?”

“Hidup di jalanan, terbiasa dengan kejahatan, tak punya masa depan. Apa mungkin karena dibesarkan dalam keluarga yang berantakan? Atau bahkan diacuhkan oleh keluarganya sendiri?”

Aku semakin tak paham apa yang dikatakannya. Sebenarnya apa yang ingin dia bicarakan padaku?

“Kamu hebat, Diyandra! Kamu melakukan langkah kecil namun penuh arti untuk negara kita. Kamu membuat anak-anak itu hidup dengan harapan. Pantas saja Dinar tergila-gila padamu!”

“Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Apa maumu? Jangan bertele-tele!” ujarku sedikit membentak. Kesal.

“Ada seorang anak yang bisa jadi nasibnya nanti akan seperti mereka. Terabaikan tanpa kasih sayang. Aku yakin kamu tahu bagaimana rasanya berjuang sendiri tanpa orang tua. Kamu sudah hebat soal itu. Tapi apa kamu tega membiarkannya bernasib sama? Jika hanya kamu yang mampu menolongnya, apa kamu akan berkorban untuknya?”

“Siapa yang kamu maksud?” tanyaku semakin bingung. Dia menggenggam telapak tanganku dan perlahan menempelkannya di perutnya. Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.


“Tolong dia! Kumohon!” (@hikmatul.khs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages