Part 11
Hidup terlalu singkat kalau hanya untuk disesali. Lihatlah ke depan, hanya ke depan. Jangan biarkan dirimu diam di suatu tempat, teruslah bergerak maju! Dengan begitu yang kau lihat hanyalah masa depan. Hiduplah dengan harapan. Hiduplah dengan mimpi-mimpimu.
Seseorang pernah mengatakan hal
itu padaku. Dan, ya, aku takkan menoleh ke belakang barang sedetikpun. Kakiku
terseok-seok menaiki bukit terjal. Sebuah pegunungan memagari kotaku dengan
gagahnya. Berderet-deret dengan ketinggian semakin merendah hingga ujungnya
yang membentuk tebing di bibir laut. Ada satu tempat rahasia di atas sana,
setidaknya menurutku.
Ada banyak cerita yang kuukir
di tempat itu. Dulu, di masa kecilku. Saat bahagia ataupun putus asa, tempat
itu adalah tempat terbaik untukku meluapkan segala emosi. Tempat dimana aku
bisa bercakap dan berbagi rasa dengan diriku sendiri. Tempat itu merupakan kawasan
kompleks gua yang didirikan pada masa Perang Dunia II yang merupakan
peninggalan militer Jepang. Ada 18 buah gua yang tersebar di kawasan itu dengan
fungsinya masing-masing. Salah satunya yang berfungsi sebagai tempat
pengintaian musuh yang kemungkinan datang dari Samudera Hindia. Gua itu
terletak di puncak perbukitan dan menghadap ke arah lautan. Bukankah terasa
menakjubkan saat kau bisa memandang daratan, muara, pantai, dan laut lepas
secara bersamaan?
Sayangnya ada rasa yang tak
bisa kuhindari jika sedang berada di tempat itu. Memandang tenggelamnya matahari
di tempat itu membuatku menengok ke belakang, melihat masa lalu yang seharusnya
sudah kulupakan jauh-jauh hari. Rasa itu hadir begitu saja. Seperti angin yang
berdesir pelan memainkan ujung rambut. Rasa yang tak seharusnya hadir kembali.
“Ternyata memang kau sama
seperti ibumu. Meskipun awalnya aku tak yakin. Bagaimana mungkin kebetulan
terjadi begitu saja? Seperti sudah tergariskan oleh takdir. Tapi sekarang aku
yakin kamu memang gadis itu. Ya, tak salah lagi. Kamu memang dia, Diyandra!”
Hahh.. Dia lagi. Bagaimana
mungkin dia tahu aku pergi ke tempat ini? Seperti takdir yang tak mampu kutulis
sendiri. Tanpa harus aku menengok ke belakang, ia sudah berdiri di sampingku.
“Aku tahu kamu terkejut.
Bayangkan saja, 18 tahun? Dan kalian mampu melalui waktu selama itu dengan
membawa luka masing-masing. Hanya karena prasangka yang belum sempat bertemu
dengan penjelasan, kalian sama saja, menghancurkan diri kalian sendiri.
Jangan-jangan kamu juga sering melakukan hal-hal konyol saat putus asa? Semisal
melukai diri sendiri atau semacamnya?”
Aku melotot, mulai geram.
Sebenarnya apa yang ingin dia katakan?
“Tanpa kamu menjawab pun aku
sudah tahu. Kalian memiliki kesamaan di berbagai hal. Matamu itu, aku bisa tahu
segalanya dari sana. Aku akan menjelaskan semuanya. Beberapa hal yang
seharusnya kamu ketahui, hal-hal yang dirahasiakan takdir darimu. Aku akan
mengatakan semuanya.”
***
Dia bukan ibuku, tepatnya
bukan ibu kandungku. Tapi lebih dari itu, selama ini kami sudah saling menjaga
dan saling menyayangi layaknya seorang ibu dengan anaknya. Ibu kandungku dulu
adalah seorang psikiater, sama seperti diriku saat ini. Tapi ia bukanlah
psikiater biasa. Ia menangani orang-orang yang memang memiliki kasus pidana,
tak hanya sekadar masalah kejiwaan semata. Ayahku tak jauh berbeda. Beliau
adalah seorang yang bekerja di lingkungan yang berbahaya. Dia pembela
kebenaran, seperti pahlawan. Saat itu usiaku baru sepuluh tahunan. Saat ayah berhasil
mengungkap dan menggagalkan aksi sebuah jaringan perdagangan manusia. Beberapa
dari korban yang berhasil ayah selamatkan adalah gadis-gadis belia yang jika
tak terselamatkan mungkin saja nasibnya akan berakhir menjadi budak di
tempat-tempat hiburan. Beberapa yang lain lebih mengerikan lagi. Bisa jadi
hidupnya akan berakhir di meja operasi, dan kembali dengan organ tubuh yang tak
lagi lengkap. Atau bahkan tak kembali sama sekali.
Salah satu korban yang
berhasil ayah selamatkan adalah seorang wanita dengan gangguan jiwa yang
belakangan juga diketahui bahwa ia juga seorang narapidana yang tadinya akan
dipindahkan ke tahanan dengan fasilitas psikiatri. Dari sini kamu pasti mulai
paham siapa wanita itu.
Ibuku lah yang menangani
wanita itu selama masa tahanannya. Hingga lima tahun kemudian saat wanita itu
bebas, ibu tetap merehabilitasinya. Ia mengajak wanita itu tinggal bersama
kami. Ibuku merasa menemukan sosok saudara perempuan dalam diri wanita itu. Awalnya
dia sangat mengerikan. Aku yang saat itu menginjak awal SMA masih sering
ketakutan saat wanita itu berkali-kali mencoba untuk bunuh diri, bahkan ia
mengancam orang-orang yang berniat menghalanginya. Seiring berjalannya waktu
keadaannya semakin membaik, bahkan nyaris seperti orang normal pada umumnya.
Kami juga semakin dekat. Dia sudah seperti ibuku sendiri. Dia bahkan sering
bercerita tentang masa lalunya, tentang kesulitan dan kebahagiaan yang pernah
ia alami, juga tentang anak gadisnya. Tentang putrinya yang entah ada dimana.
Dia sangat merindukannya.
***
“Dia tidak berniat
meninggalkanmu, apalagi melupakanmu. Percayalah!”
“Lalu bagaimana dengan
orangtuamu? Kenapa kamu begitu sibuk mengurusi urusan seorang ibu dengan
putrinya?”
Pemuda itu mengela nafas
sejenak. “Orangtuaku? Mereka sudah tenang diatas sana. Aku tahu pekerjaan yang
mereka ambil adalah pekerjaan yang resikonya bukan main. Beberapa orang mungkin
mengincar keselamatan keluarga kami. Aku sudah dipahamkan tentang itu sejak
kecil, jadi aku tak terlalu merasa terpukul. Setidaknya mereka pergi dengan
jalan yang baik, mereka telah menyelamatkan banyak orang. Seperti pahlawan, aku
bangga pada orangtuaku.”
Aku tak mampu berkata apa-apa.
Lidahku kelu. Setelah beberapa saat ia
kembali melanjutkan ucapannya. “Saat kejadian malam yang mengerikan itu ibumu
membawaku pergi, dia menyelamatkanku. Tentang orangtuaku, aku sudah
mengikhlaskannya. Tuhan juga sudah berbaik hati padaku. Sejak saat itu kami
pindah ke tempat ini. Kami saling menjaga satu sama lain. Dia menjagaku seperti
seorang ibu yang menjaga anaknya, dan juga sebaliknya. Apalagi saat tiba-tiba
ibu lupa diri karena kerinduannya padamu, ia bisa bertindak begitu bodoh. Ia
memang belum sepenuhnya sembuh. Saat ia merasakan rindu yang amat sangat, ia mendadak
merasa begitu bersalah. Menyalahkan diri sendiri, bahkan melukai diri sendiri.
Ia bahkan pernah mencoba melompat dari tempat setinggi ini, dari tempat dimana
kau berdiri saat ini. Aku sudah berusaha menyembuhkannya secara total, tapi aku
sadar ia hanya butuh satu orang, dirimu. Ia merindukan putrinya, tidakkah kau
merasakan hal yang sama?”
Aku terdiam. Tatapanku kosong
mengarah ke ujung sinar matahari yang sebentar lagi menghilang di balik garis lautan.
“Aku harus pulang. Seorang ibu
mungkin sudah cemas menunggu anaknya. Pikirkanlah lagi! Aku pernah mendengar
sebuah ungkapan, seseorang yang pergi dengan membawa luka dan cinta bersamaan,
ia akan terikat untuk kembali. Kalau ungkapan itu benar, tanpa harus kutarik
kamu pasti akan kembali dengan sendirinya. Iya, ‘kan?”
Dia beranjak pergi,
meninggalkan bungkusan kantung plastik di tempatnya berdiri tadi. Aku
mengambilnya, itu.. kembang api. (@hikmatul.khs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar