Part 12
Adegan mengamuk khas sinetron
itu terlihat jelas di depan mukaku. Barang-barang berantakan tak karuan.
Pecahan piring gelas berserakan di lantai. Ditambah lagi adegan seorang pemuda
berusaha kuat mencegah wanita tua yang berniat memotong urat nadinya sendiri
dengan pecahan beling. Cukup! Drama macam apa ini?
Seketika wanita itu mendadak
tenang saat melihatku muncul dari balik pintu. Aku mendekat kearahnya. Mataku
menatap tajam kearah matanya saat aku tepat berdiri dihadapannya. Kuraba pipi
sembabnya yang mulai mengeriput. Apakah kepergianku selama ini membuatmu begitu
menderita? Lalu bagaimana denganku? Kau tak tahu, ‘kan?
Kuambil pecahan beling di
tangannya. Kupegang benda itu tepat di depan matanya. “Kau ingin mati? Kenapa? Kenapa
kau masih saja bodoh? Apa dengan melihat kematianmu aku akan menyesal lalu aku
akan mencegahmu melakukannya? Mana mungkin aku bisa memaafkanmu begitu saja?
Kau tak tahu bagaimana aku harus makan cemoohan orang hanya sekadar untuk
mempertahankan kehidupan yang tak kuinginkan? Kalau kau mau mati, matilah! Aku
tak peduli! Aku pun akan melakukan hal yang sama sejak dulu. Sayangnya dulu aku
masih punya seseorang yang bisa diharapkan, jadi aku masih bisa bertahan hingga
hari ini. Tapi kini semua harapan itu sudah tiada, tak ada alasan lagi untukku
bertahan hidup. Jadi ayo kalau mau mati, kita lakukan bersama-sama!”
Kutempelkan pecahan beling itu
di atas pergelangan tanganku sendiri. Wanita itu merampasnya dariku dan
membuangnya jauh-jauh. Dia merengkuhku dalam pelukannya. “Jangan gila! Jangan
bodoh! Cukup ibu saja, cukup. Bagaimana bisa seorang ibu melihat putrinya ingin
mati dihadapannya? Ibu minta maaf!”
Lihatlah aku. Seorang yang
tadinya berpura-pura dingin dan tegar, toh nyatanya butiran bening itu meleleh
juga. Bagaimanapun juga ikatan darah lebih kental dari air mata. Tapi,
bagaimana aku bisa memaafkanmu jika aku saja tak bisa memaafkan diriku sendiri?
***
Malam-malam selanjutnya terasa
berbeda. Wanita itu lebih sering tersenyum. Aku akan mencoba berdamai
dengannya, meski tidak dengan masa lalu. Tapi tetap saja, tak semua kenangan
itu menyakitkan. Beberapa kenangan bahkan bisa menyembuhkan luka yang
digoreskan oleh kenangan yang lain. Dan aku percaya hal itu.
Rutinitasku kini setiap malam
adalah bermain kembang api di pantai tak jauh dari perkampungan kami. Kau tahu,
aku mulai merasakan hal itu lagi. Kebahagiaan, aku mulai merasakanya lagi
setelah sekian lama hilang. Ibuku, dia tetaplah wanita terhebat yang pernah
kutahu. Aku bahagia dengan kami yang sekarang. Seperti kebahagiaannya saat
mendengar kata pertama yang terucap dari bibir mungilku. Aku bahagia bisa
memanggilnya.. Ibu.
“Aku tak menginginkan hal yang
lain lagi. Aku hanya butuh Ibu, lalu aku akan bahagia. Selamanya,” ujarku
membual.
“Sungguh? Bagaimana jika
seorang pangeran datang dan meminangmu? Apa kau akan terus-terusan sembunyi di
belakang Ibu?”
Itu tak mungkin. Dia tak akan
kembali. Jangankan pangeran berkuda putih ala film Disney, yang datang padaku
hanyalah sesosok bayangan hitam. Seperti malaikat pencabut nyawa, dia semakin
mendekat.
Dia benar-benar datang.
“Diy, ini aku. Dinar.”
***
Kupandang lagi selembar kertas
undangan di atas meja riasku. Dia bilang dia tak menginginkannya. Dia bilang
dia menginginkanku. Tapi aku tahu, dia bukan pangeran. Dia kesatria. Dan dia
harus menunjukkan sikapnya sebagai seorang kesatria, dia akan
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya.
Celebrating with you!
-- Dinar & Vina --
Kupandang lagi wajahku di
cermin. Setelah sekian lama tak tersentuh riasan, aku tampak berbeda. Ternyata
ibu lebih pandai berdandan daripada aku. Mungkin aku harus belajar banyak
darinya, penata riasku kali ini.
“Kamu sakit?” tanyanya.
“Tidak, Bu! Bagaimana bisa Ibu
mengira aku sakit? Lihatlah, aku secantik ini! Bahkan orang-orang akan mengira
aku lah mempelai wanitanya!”
Ibu membelai pipiku yang
merona. “Putri Ibu bukanlah seorang yang bangga memamerkan lukanya. Ingat itu,
nak! Ibu mencintaimu!”
Dia mengecup keningku. Ini
cukup. Bukankah aku hanya butuh Ibu?
***
Kupeluk wanita muda itu dan
kukecup kedua pipinya. “Kamu cantik sekali!”
“Terima kasih, ya! Aku tak
menyangka kamu akan datang.”
“Apakah aku punya tampang
pendendam? Bahkan saat seseorang menginginkan milikku, aku akan memberikannya.
Bukankah aku terlalu baik?”
Dia tercekat. “Aku minta maaf!
Aku..”
“Sudahlah, jangan berlebihan!
Aku juga tak mungkin memberikan sesuatu milikku yang masih berharga. Aku tak
punya apa-apa lagi. Karena satu-satunya milikku yang paling berharga telah kuberikan
pada seseorang.” Kulirik lelaki yang berdiri di sampingnya. “Jangan berpikir
aku sebaik itu. Aku bukan malaikat!”, lanjutku.
“Kau, buatlah dia bahagia! Kau
tahu ‘kan hati wanita seperti gelas kaca? Jangan kau hancurkan yang lain lagi.
Jaga dia!” ucapku pada lelaki itu.
“Diyandra!” ucapnya sembari
memegang lenganku, mencegahku yang hampir berlalu.
“Lepaskan! Apa yang akan orang-orang
pikirkan tentang kita? Pengantin pria mendekati wanita lain bahkan saat masih
di pelaminan? Jangan bodoh! Kau pikir aku terluka? Aku bahkan bersyukur karena
Tuhan memberiku pengganti yang berkali lipat lebih baik darimu.”
Dia melepaskanku. Aku segera
turun dari pelaminan. Tangan seseorang sudah siap menyambutku disana. “Ayo kita
pulang, sayang!”
Aku menggamit erat lengannya.
Pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.
***
Kutumpahkan seluruh air mataku
di lantai atap gedung itu. Aku sudah melepasnya. Aku bisa. Kusandarkan tubuhku
di dadanya. Kusembunyikan tangisku dalam pelukannya.
“Kamu puas?”
“Terima kasih, Faraz! Maaf aku
harus melibatkanmu dalam urusan ini! Aku sedikit lebih lega. Tapi Dinar
bukanlah orang yang bodoh. Kami sudah 15 tahun tinggal bersama. Ditambah 3
tahun dimana kami menguntai rindu setiap malam. Dia tahu bagaimana aku jujur
ataupun bohong. Dia tahu semuanya. Bahkan saat kita pura-pura, dia pasti
mengetahuinya!”
“Jadi, bagaimana kalau kita
buat itu nyata? Bukan lagi pura-pura? Apa kau akan lebih tenang melepasnya?”
“Apa maksudmu?” Aku beringsut
dari dekapannya.
“Kita buat itu menjadi nyata.
Bukan hanya berpura-pura menjadi pasangan di depannya, tapi juga pasangan yang
sesungguhnya. Aku mencintaimu, Diy! Menikahlah denganku, kita jaga Ibu
bersama-sama!”
Aku terdiam. Kutatap matanya
tajam.
“Kamu tak tahu aku seperti
apa? Masa laluku, masa kelamku, kamu tak tahu, ‘kan? Aku tak punya apa-apa
lagi. Bahkan hartaku paling berharga sudah kuberikan padanya! Apa kamu masih
ingin memilikiku?”
“Aku tahu semuanya! Dan aku
tak mempermasalahkan hal itu. Aku menerimamu dengan masa lalumu. Apa yang kau
punya dan tak kau punya, tak masalah bagiku. Kamu hanya perlu memaafkan dirimu
sendiri. Lalu kita akan mengukir masa depan kita bersama.”
Itu masalahnya. Memaafkan diri
sendiri? Apakah aku bisa melakukannya? (@hikmatul.khs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar