30 Days Writing Challenge: Tema 12 (Aku Memaafkan Diriku)

Part 12 




Pranggg...

Adegan mengamuk khas sinetron itu terlihat jelas di depan mukaku. Barang-barang berantakan tak karuan. Pecahan piring gelas berserakan di lantai. Ditambah lagi adegan seorang pemuda berusaha kuat mencegah wanita tua yang berniat memotong urat nadinya sendiri dengan pecahan beling. Cukup! Drama macam apa ini?

Seketika wanita itu mendadak tenang saat melihatku muncul dari balik pintu. Aku mendekat kearahnya. Mataku menatap tajam kearah matanya saat aku tepat berdiri dihadapannya. Kuraba pipi sembabnya yang mulai mengeriput. Apakah kepergianku selama ini membuatmu begitu menderita? Lalu bagaimana denganku? Kau tak tahu, ‘kan?

Kuambil pecahan beling di tangannya. Kupegang benda itu tepat di depan matanya. “Kau ingin mati? Kenapa? Kenapa kau masih saja bodoh? Apa dengan melihat kematianmu aku akan menyesal lalu aku akan mencegahmu melakukannya? Mana mungkin aku bisa memaafkanmu begitu saja? Kau tak tahu bagaimana aku harus makan cemoohan orang hanya sekadar untuk mempertahankan kehidupan yang tak kuinginkan? Kalau kau mau mati, matilah! Aku tak peduli! Aku pun akan melakukan hal yang sama sejak dulu. Sayangnya dulu aku masih punya seseorang yang bisa diharapkan, jadi aku masih bisa bertahan hingga hari ini. Tapi kini semua harapan itu sudah tiada, tak ada alasan lagi untukku bertahan hidup. Jadi ayo kalau mau mati, kita lakukan bersama-sama!”

Kutempelkan pecahan beling itu di atas pergelangan tanganku sendiri. Wanita itu merampasnya dariku dan membuangnya jauh-jauh. Dia merengkuhku dalam pelukannya. “Jangan gila! Jangan bodoh! Cukup ibu saja, cukup. Bagaimana bisa seorang ibu melihat putrinya ingin mati dihadapannya? Ibu minta maaf!”

Lihatlah aku. Seorang yang tadinya berpura-pura dingin dan tegar, toh nyatanya butiran bening itu meleleh juga. Bagaimanapun juga ikatan darah lebih kental dari air mata. Tapi, bagaimana aku bisa memaafkanmu jika aku saja tak bisa memaafkan diriku sendiri?

***

Malam-malam selanjutnya terasa berbeda. Wanita itu lebih sering tersenyum. Aku akan mencoba berdamai dengannya, meski tidak dengan masa lalu. Tapi tetap saja, tak semua kenangan itu menyakitkan. Beberapa kenangan bahkan bisa menyembuhkan luka yang digoreskan oleh kenangan yang lain. Dan aku percaya hal itu.

Rutinitasku kini setiap malam adalah bermain kembang api di pantai tak jauh dari perkampungan kami. Kau tahu, aku mulai merasakan hal itu lagi. Kebahagiaan, aku mulai merasakanya lagi setelah sekian lama hilang. Ibuku, dia tetaplah wanita terhebat yang pernah kutahu. Aku bahagia dengan kami yang sekarang. Seperti kebahagiaannya saat mendengar kata pertama yang terucap dari bibir mungilku. Aku bahagia bisa memanggilnya.. Ibu.

“Aku tak menginginkan hal yang lain lagi. Aku hanya butuh Ibu, lalu aku akan bahagia. Selamanya,” ujarku membual.

“Sungguh? Bagaimana jika seorang pangeran datang dan meminangmu? Apa kau akan terus-terusan sembunyi di belakang Ibu?”

Itu tak mungkin. Dia tak akan kembali. Jangankan pangeran berkuda putih ala film Disney, yang datang padaku hanyalah sesosok bayangan hitam. Seperti malaikat pencabut nyawa, dia semakin mendekat.

Dia benar-benar datang.

“Diy, ini aku. Dinar.”

***

Kupandang lagi selembar kertas undangan di atas meja riasku. Dia bilang dia tak menginginkannya. Dia bilang dia menginginkanku. Tapi aku tahu, dia bukan pangeran. Dia kesatria. Dan dia harus menunjukkan sikapnya sebagai seorang kesatria, dia akan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya.

Celebrating with you!
 -- Dinar & Vina --

Kupandang lagi wajahku di cermin. Setelah sekian lama tak tersentuh riasan, aku tampak berbeda. Ternyata ibu lebih pandai berdandan daripada aku. Mungkin aku harus belajar banyak darinya, penata riasku kali ini.

“Kamu sakit?” tanyanya.

“Tidak, Bu! Bagaimana bisa Ibu mengira aku sakit? Lihatlah, aku secantik ini! Bahkan orang-orang akan mengira aku lah mempelai wanitanya!”

Ibu membelai pipiku yang merona. “Putri Ibu bukanlah seorang yang bangga memamerkan lukanya. Ingat itu, nak! Ibu mencintaimu!”

Dia mengecup keningku. Ini cukup. Bukankah aku hanya butuh Ibu?

***

Kupeluk wanita muda itu dan kukecup kedua pipinya. “Kamu cantik sekali!”

“Terima kasih, ya! Aku tak menyangka kamu akan datang.”

“Apakah aku punya tampang pendendam? Bahkan saat seseorang menginginkan milikku, aku akan memberikannya. Bukankah aku terlalu baik?”

Dia tercekat. “Aku minta maaf! Aku..”

“Sudahlah, jangan berlebihan! Aku juga tak mungkin memberikan sesuatu milikku yang masih berharga. Aku tak punya apa-apa lagi. Karena satu-satunya milikku yang paling berharga telah kuberikan pada seseorang.” Kulirik lelaki yang berdiri di sampingnya. “Jangan berpikir aku sebaik itu. Aku bukan malaikat!”, lanjutku.

“Kau, buatlah dia bahagia! Kau tahu ‘kan hati wanita seperti gelas kaca? Jangan kau hancurkan yang lain lagi. Jaga dia!” ucapku pada lelaki itu.

“Diyandra!” ucapnya sembari memegang lenganku, mencegahku yang hampir berlalu.

“Lepaskan! Apa yang akan orang-orang pikirkan tentang kita? Pengantin pria mendekati wanita lain bahkan saat masih di pelaminan? Jangan bodoh! Kau pikir aku terluka? Aku bahkan bersyukur karena Tuhan memberiku pengganti yang berkali lipat lebih baik darimu.”

Dia melepaskanku. Aku segera turun dari pelaminan. Tangan seseorang sudah siap menyambutku disana. “Ayo kita pulang, sayang!”

Aku menggamit erat lengannya. Pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.

***

Kutumpahkan seluruh air mataku di lantai atap gedung itu. Aku sudah melepasnya. Aku bisa. Kusandarkan tubuhku di dadanya. Kusembunyikan tangisku dalam pelukannya.

“Kamu puas?”

“Terima kasih, Faraz! Maaf aku harus melibatkanmu dalam urusan ini! Aku sedikit lebih lega. Tapi Dinar bukanlah orang yang bodoh. Kami sudah 15 tahun tinggal bersama. Ditambah 3 tahun dimana kami menguntai rindu setiap malam. Dia tahu bagaimana aku jujur ataupun bohong. Dia tahu semuanya. Bahkan saat kita pura-pura, dia pasti mengetahuinya!”

“Jadi, bagaimana kalau kita buat itu nyata? Bukan lagi pura-pura? Apa kau akan lebih tenang melepasnya?”

“Apa maksudmu?” Aku beringsut dari dekapannya.

“Kita buat itu menjadi nyata. Bukan hanya berpura-pura menjadi pasangan di depannya, tapi juga pasangan yang sesungguhnya. Aku mencintaimu, Diy! Menikahlah denganku, kita jaga Ibu bersama-sama!”

Aku terdiam. Kutatap matanya tajam.

“Kamu tak tahu aku seperti apa? Masa laluku, masa kelamku, kamu tak tahu, ‘kan? Aku tak punya apa-apa lagi. Bahkan hartaku paling berharga sudah kuberikan padanya! Apa kamu masih ingin memilikiku?”

“Aku tahu semuanya! Dan aku tak mempermasalahkan hal itu. Aku menerimamu dengan masa lalumu. Apa yang kau punya dan tak kau punya, tak masalah bagiku. Kamu hanya perlu memaafkan dirimu sendiri. Lalu kita akan mengukir masa depan kita bersama.”


Itu masalahnya. Memaafkan diri sendiri? Apakah aku bisa melakukannya? (@hikmatul.khs)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages