Part 7
Aku sudah tak sabar
ingin bertemu dengannya. Aku sengaja tak memberitahunya bahwa aku pulang
seminggu lebih cepat dari yang kujanjikan. Sepanjang jalan hatiku terus
berdebar.
Tak lama kemudian
akhirnya taksi yang kutumpangi berhenti di depan sebuah bar mewah di pusat
ibukota. Suasana malam
ini tak jauh berbeda dengan tiga tahun yang lalu. Ini yang kusebut kehidupan:
malam dan gemerlapnya. Sebuah kehidupan semu dimana aku harus hidup dalam kebohongan
dan kepura-puraan.
Inilah rumahku, tempat dimana aku harus kembali pulang.
***
Aku bukanlah siapa-siapa. Aku bukan seorang yang punya banyak harta
untuk dibagi, juga bukan orang dengan hati selembut kapas. Sebelum memutuskan
untuk pergi sejauh ini, aku masih seorang gadis jalanan. Sama seperti 18 tahun yang lalu, hanya lebih berkelas.
Terkadang hidup
begitu kejam. Hanya bermodal mimpi tak akan cukup. Terkadang kita tak bisa
hanya menjadi orang baik untuk bisa hidup. Seperti gelas retak yang tak bisa
kembali utuh. Aku yang terlanjur menjadi pihak yang buruk akan tetap menjadi
buruk. Tak mungkin sama seperti semula.
Setelah takdir
akhirnya membawa aku dan Dinar ke ibukota, kami tak punya cara lain untuk
mencari uang selain menggunakan cara sebelumnya: mengemis, menipu dan mencuri.
Mungkin kami terlanjur jatuh ke jurang yang begitu dalam hingga lupa bagaimana
terangnya dunia luar. Aku hanya tahu gelap, dan juga pengap.
Kami tumbuh di
lingkungan yang tak lagi menghiraukan baik dan buruk. Kami sering berpindah
tempat, tapi selalu bersama. Beberapa tahun terakhir kami bekerja di sebuah
bar, sebuah tempat dengan sejuta jerat dan godaan. Tapi kami tak begitu saja larut dalam dunia
kelam itu, kami masih tahu batas.
Hingga suatu hari aku tak sengaja bertemu orang-orang yang nantinya akan
mengantarku menjemput takdirku selanjutnya. Sebuah panggilan jiwa, katanya.
Entah mengapa aku terbayang akan diriku sendiri sekian tahun yang lalu saat
mendengar penjelasan mereka tentang keadaan anak-anak di sebuah tempat asing
jauh di seberang sana.
Aku bukan orang yang pantas diteladani. Justru karena itu, aku tak ingin
mereka nantinya mengambil jalan yang sama seperti jalan yang kutempuh selama
ini. Aku ingin mengajarkan mereka segala yang kutahu tentang kehidupan. Sesuatu
yang mungkin takkan diajarkan di sekolah biasa.
Aku pergi. Kubawa dan kujaga janjiku pada Dinar hingga tiga tahun
kemudian.
***
Aku bertemu dengannya di sebuah malam yang mengerikan. Saat itu usiaku
baru tujuh tahun, usia dimana aku baru mulai paham baca tulis. Di usia itu
takdir merenggut semuanya dariku. Ayahku, ibuku, hidupku, semuanya.
Dia malaikatku. Dimanapun aku membutuhkan bantuan ia selalu datang
padaku. Ia selalu ada di sisiku. Dia selalu melindungiku selama setengah masa
hidupku. Suatu hari aku memutuskan untuk pergi. Mungkin memang hanya sementara,
tapi tak mudah bagiku untuk sama sekali tak berjumpa dengannya setelah 15 tahun
hidup bersama. Hanya bertemu dalam barisan kata-kata yang kami tulis setiap
minggu. Ini tak mudah. Aku merindukannya.
***
“Diyandra? Ini elo, ‘kan?” tanya seorang gadis dengan segelas wine di
tangannya. Aku hanya tersenyum. Tampaknya ia sedikit terkejut. Tapi ia segera
menyambutku dengan pelukan hangatnya.
“Gue pikir elo nggak bakalan balik gara-gara ditaksir sama cowok sana
yang primitif gitu! Gimana disana? Aku nggak bisa bayangin elo bisa hidup kayak
gitu. Nggak ada listrik, nggak ada sinyal, apalagi mall. Hahh..”
“Mana mungkin gue ngelirik yang lain kalau ada yang setia nungguin gue
disini, iya, ‘kan? Eh, by the way dia dimana?
Gue sengaja nggak bilang kalau mau pulang sekarang. Biar surprise!”
“Eh, maksud lo,
Dinar?” wajahnya mengisyaratkan kekhawatiran.
“Iya, lah. Siapa lagi? Dia di dalem, ‘kan?”
“Ehh? Tapi, Diy!”
Aku menghiraukannya dan segera masuk ke ruangan yang lebih luas. Disini
aku sudah tak bisa mendengar perkataan orang kecuali teriakan. Suara musik
menghentak keras. Mataku mulai mencari seseorang diantara kerumunan. Aku yakin
masih bisa mengenali wajahnya.
Akhirnya aku menemukannya. Tapi.. Kuyakinkan diriku tak salah lihat. Itu
benar-benar Dinar. Tapi siapa yang sedang bersamanya? Apa yang mereka lakukan?
“Dinar!?”
Kutampar pipi gadis yang berani-beraninya menggoda kekasihku. “Siapa
kamu?”
“Apa-apaan, sih? Gue pacarnya, emang kenapa?”
Kupalingkan wajahku ke arah Dinar, meminta penjelasan. Dia berkata
terbata-bata, “Aku bisa jelaskan semuanya, Diy!”
“Jadi, benar?”
Kutinggalkan mereka
dengan membawa amarah. Bagaimana
bisa dia melakukan hal ini padaku? Aku keluar dari ruangan bising itu.
“Tunggu, Diy! Aku bisa jelaskan semuanya!” Dia menahan tanganku.
“Aku cuma main-main. Kamu tahu satu-satunya orang yang ada di hatiku
cuma kamu. Aku kesepian, Diy! Aku sudah bilang jangan pergi. Aku nggak bisa
berpisah dari kamu!”
“Sudah sejauh apa?”
“Hahh. Apa maksudmu?”
“Aku tanya sudah sejauh apa hubungan kalian? Apa
yang sudah kalian lakukan di belakangku?”
“Aku nggak serius sama dia, Diy! Kamu tahu itu,
‘kan?”
“Jadi kamu hanya
mempermainkannya? Semudah itu kah kamu mempermainkan hati wanita hanya dengan
alasan kesepian? Pria macam apa kamu? Cukup! Kita berakhir sampai disini!”
Kulambaikan tanganku
ke taksi yang mendekat ke arahku. Saat aku bersiap masuk, ia mengatakan
sesuatu.
“Bagaimanapun juga
kamu sudah menjual harga dirimu demi uang! Kamu tidak lebih baik dariku!”
Aku terdiam, lalu
berbalik dan mendekat ke arahnya. “Terimakasih telah mengingatkanku pada harga
diriku, pada derajatku! Aku memang menipu orang-orang itu, aku membohongi
mereka. Tapi setidaknya aku masih menjaga diriku hanya untuk satu orang. Orang
yang telah berjanji akan melindungiku selamanya. Hanya padanya aku serahkan
jiwa dan ragaku, seluruh hidupku. Aku tak menyangka kalau ia berpikir aku sekotor
itu. Terimakasih, Dinar!”
Dengan sekuat tenaga
kutahan air mataku. Aku tak mau memperlihatkan diriku yang lemah dihadapannya.
“Aku tak pernah berharap hidupku akan seperti ini. Tapi aku selalu bersyukur
karena Tuhan masih memberiku malaikat sebaik dirimu. Walau hidupku hancur, aku
tak mengapa asal aku masih punya dirimu. Bahkan di kehidupan selanjutnya, jika
aku terlahir kembali. Aku ingin mengenalmu lagi, jatuh cinta denganmu lagi,
lalu hidup denganmu lagi. Aku tak ingin kehilangan dirimu. Aku tak bisa
melihatmu menjadi milik orang lain. Karena kamulah satu-satunya alasanku untuk
hidup. Aku sudah kehilangan segalanya. Aku tak ingin kehilanganmu juga!”
Kujatuhkan diriku
dalam pelukannya, ternyata aku tak sekuat yang kubayangkan.
“Maafkan aku, Diyandra!
Kita bisa mulai segalanya dari awal lagi, ‘kan? Maafkan aku!” (@hikmatul.khs)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar