30 Days Writing Challenge: Tema 14 (Persembahan Untuk Orangtuaku di Hari Yang Fitri)

Part 14 - End 



“Ternyata itu pesan terakhirnya, Faraz! Lalu aku harus bagaimana?” tanyaku bimbang sambil memandang deretan bayi-bayi mungil dari balik dinding kaca.

“Aku tak masalah, Diy! Apapun keputusanmu, aku tak mengapa! Asalkan dia memperlakukanmu dengan baik, asalkan dia tak menyakitimu lagi. Aku rela melepaskanmu. Aku juga tahu rasa itu masih ada. Iya, ‘kan?”

Aku tak kuasa lagi. Kujatuhkan diriku dalam pelukannya. “Aku tak pernah berbuat apapun, tapi kenapa Tuhan berbaik hati memberiku kakak sepertimu? Terimakasih, Bang!”

***

“Kamu harus pulang, Dinar! Apa kamu tak ingin bertemu putrimu? Dia manis, seperti ibunya. Apa kamu tak ingin melihatnya?”

Lelaki itu hanya diam meratapi gundukan tanah yang masih basah. Bunga-bungaan yang ditebar diatasnya pun masih belum mengering. Vina, kali ini aku benar-benar iri padamu.

“Kamu harus bangkit dari keterpurukanmu. Seseorang membutuhkanmu, Dinar! Putrimu butuh seseorang yang bisa menjaganya. Ia butuh seseorang untuk hidup!”

Lelaki itu masih terdiam. Aku melihat jelas guratan kesedihan di wajahnya. Sepertinya ia sangat terpukul.

“Aku salah, Diy! Aku menyesal. Seandainya aku bisa menjaga sikapku, mungkin semua tak berakhir seperti ini.”

“Apakah kau sudah sebegitu dalam mencintainya? Apa hanya karena kehilangan dia kamu tak lagi menghargai hidupmu sendiri?” tanyaku mulai bergetar.

“Aku sudah tak lagi menghargai hidup sejak kehilanganmu, Diy! Apa sekarang aku harus mati saja? Aku sama sekali tak berharga. Aku sudah kehilangan segalanya.”

“Jangan bodoh, Dinar! Bagaimana nasib anakmu nanti? Apa kamu akan membiarkan dia hidup tanpa ayah tanpa ibu? Apa kamu akan membiarkannya mengalami kehidupan yang sama dengan kehidupan kita yang dulu?”

“Kenapa sekarang kamu terlalu ikut campur urusanku, Diy? Kenapa tak kau urus hidupmu sendiri? Bukankah kamu harus menikah lalu hidup bahagia dengan orang lain? Kenapa kamu malah datang kesini dan menceramahiku?”

“Aku membatalkan pernikahanku!” ucapku getir.

“Kenapa? Apa kamu ingin kembali padaku? Apa kamu ingin memungut lagi sampah yang sudah kamu buang? Kenapa tak pergi saja dariku lalu hidup bahagia dengan laki-laki itu?”

“Cukup, Dinar! Ini bukan sekadar perasaanku atau perasaanmu. Ini tentang putrimu. Pantas saja Vina lebih mempercayai orang lain daripada suaminya sendiri untuk menjaga anaknya. Itu karena kamu tak pantas menjadi ayahnya. Bagaimana ia akan tumbuh dengan baik dalam asuhan orang sepertimu? Egois, keras kepala!”

“Ya, aku memang egois. Aku keras kepala. Bukankah kamu sudah tahu segalanya tentangku? Aku sudah gila karena kalian. Lalu kamu masih ingin kembali padaku? Dan kenapa kamu sangat peduli pada putriku? Kau bahkan bukan ibu kandungnya, Diy! Kamu bukan siapa-siapa!”

“Aku memang bukan siapa-siapa. Aku melakukan semua ini karena aku menghargai pesan terakhir Vina. Aku sudah berjanji padanya untuk menjaga putri kalian. Bukan hanya menjadi ibu dari anak itu, tapi juga menjadikanmu ayah yang baik untuknya. Entah kau mau menerimaku atau tidak. Aku akan melakukan janji yang kubuat. Terlepas dari apa nama hubungan yang akan kita kita jalani nantinya. Aku sudah berjanji akan menjadikanmu ayah yang baik untuknya. Tapi kalau sikapmu terus-terusan begini aku bisa apa? Kalau saja aku tak terlanjur berjanji padanya, aku tak mungkin datang padamu lagi. Hanya karena aku ingin menjaga janjiku pada Vina, dengan atau tanpa ayahnya, dia akan tetap menjadi putriku!”

“Ambillah. Ambil saja semuanya. Aku tak butuh lagi. Toh aku tak pantas untuk kalian. Apalagi menjadi seorang ayah. Aku sama sekali tak pantas. Aku pergi!”

Dinar tak pernah main-main. Sekali ia berkata pergi, ia akan pergi. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang hilang di balik pagar tempat pemakaman itu. Serapuh itukah hatimu, Dinar? Sesakit itu kah? Dia benar-benar pergi tanpa pernah memberi kabar lagi.

Dinar, benarkah kau sudah tak lagi mencintaiku?

***

1 tahun kemudian..

 “Nda..n..Nda”

“Kamu mau bilang apa sayang?” mataku semakin berbinar, kegirangan.

“N..Nda”

“Bu, ibu dengar, ‘kan? Shara mengucapkan kata pertamanya. Dia memanggilku, Bu!”

Ibu hanya tersenyum melihatku.

“Iya, sayang! Bunda disini!”

Tiba-tiba saja Shara menangis. Aku segera memberinya botol berisi susu formula. Dia kehausan. Mataku mulai berkaca-kaca saat menyadari bagaimanapun usahaku, aku tetap takkan bisa menjadi ibu yang baik untuknya. Aku takkan bisa menggantikan sosok ibunya. Maafkan bunda, sayang!

“Apa kamu tak ingin menikah, Diy?” tanya ibu membuyarkan lamunanku.

“Buat apa menikah kalau aku bisa mendapat kebahagiaan dari putriku, Bu? Kalau hanya dengan Shara dan Ibu saja aku sudah bahagia, kenapa aku harus serakah dan menginginkan segalanya?”

“Bukannya begitu, nak! Mungkin kalau memang kamu tak ingin, tapi bukankah Shara juga butuh seorang ayah?”

Aku menghela nafas panjang. Aku sudah lelah dengan omongan tetangga. Dan kini Ibu ikut mengungkit hal yang sama. “Bu, aku bahkan bisa hidup tanpa Ayah dan Ibu. Lalu kenapa Shara tak bisa? Dia bahkan masih punya aku! Dia juga punya Ibu, ‘kan?”

Ibu terdiam. Raut mukanya berubah seketika. “Apa kamu masih sakit hati, nak? Sebegitu dalamkah luka yang Ibu dan Ayah goreskan sehingga kamu masih mengungkitnya?”

“Bukan maksudku begitu, Bu! Aku..”

Ibu beranjak dari tempatnya dan melangkah pergi. Shara menangis lagi. Sepertinya ia bisa merasakan atmosfer ketidaknyamanan di sekelilingnya.

“Shara kenapa, sayang? Jangan nangis terus ya, nak! Bunda ‘kan jadi sedih!”

Tok tok tok

Aku segera membukakan pintu sambil menenangkan Shara yang masih menangis dalam gendonganku. Aku terkejut melihat siapa yang ada di balik pintu. Mungkin ikatan batin memang sekuat ikatan darah. Aku kini tahu kenapa Shara bersikap aneh seharian ini. Ia merindukan ayahnya.

“Dinar?”

“Iya, Diy! Ini aku. Dia.. putriku?”

Aku mengangguk pelan. Tangis Shara seketika berhenti saat ayahnya membelai lembut kepalanya.

“Shara. Namanya Shara. Kamu belum tahu namanya, ‘kan?”

Ia balas mengangguk. “Aku bahkan belum perah tahu wajahnya.”

“Jangan pergi lagi, Dinar. Aku mungkin keterlaluan waktu itu. Tapi bagaimanapun juga Shara tetap butuh ayahnya. Dia merindukanmu.”

Dia menatapku lekat-lekat. “Lalu bagaimana dengan ibunya? Apa dia juga merindukanku?”

“Hhh.. Aku bukan ibunya. Aku bundanya!”

“Kamu tak pernah berubah, Diy!”

Kami saling tersenyum. Itu pun sudah menjelaskan segalanya.

***

Setelah sekian lama akhirnya semua kembali. Hanya sedikit yang berbeda, kali ini ada Shara. Dia duduk tenang di pangkuanku. Langit senja semakin memerah. Aku selalu suka saat-saat seperti ini.

“Kau, apa kau sudah menikah?”

“Belum.”

“Punya pacar?”

“Tidak juga.”

“Kalau begitu, apa kamu mau menikah denganku? Apa aku bisa menjadi ayah dari putrimu? Apa aku sudah pantas?”

“Apa ini alasanmu pergi? Memantaskan diri? Ahh, manis sekali! Apa karena saat itu kamu bukan orang yang hebat, begitu? Apa kamu harus menunggu untuk jadi hebat dulu baru bisa menerimaku?”

“Ahh, ya! Ini lucu. Kenapa aku harus memohon padamu untuk bisa menjadi ayahnya? Bukankah memang aku ayahnya yang sesungguhnya?”

“Ohh.. Jadi kamu mau mengambil putriku? Takkan kubiarkan! Kecuali..”

“Kecuali apa?”

“Kamu menginginkan anaknya atau bundanya?”

“Bagaimana kalau keduanya? Aku bisa mendapatkan semuanya sekaligus hanya dengan satu langkah kaki, bukankah itu hebat?”

“Ya ya ya, Ayah memang yang terhebat. Iya kan, Shara?”

“Ayah? Jadi..?”

Kukerlingkan mataku manja. Aku bangkit dari dudukku. Kubawa lari Shara diantara ombak yang mendekat.

“Ahh.. Awas kalau sampai tertangkap.. tamat kalian!”

Dia mengejarku dibawah langit senja. Dihadapan ombak yang bergulung-gulung menjilati bibir pantai. Mereka saksinya. Saksi atas penantianku selama ini. Bahagia, mungkin sudah saatnya kau hadir dengan sempurna. “Shara lari Shara! Jangan sampai tertangkap Ayah!” Kupeluk putriku semakin erat. Aku takkan melepaskannya. Sudah kubilang, dia keajaibanku.

***

Hari ini aku menyempurnakan kebahagiaanku. Kebahagiaan kedua: menjadi seorang istri. Hanya sebuah pernikahan sederhana. Ijab qabul setelah shalat Idul Fitri. Cukup, itu saja. Aku sudah bahagia. Hari ini sahabat sekaligus kakakku juga menyempatkan hadir. Dia memutuskan untuk melanjutkan sekolah psikiatrinya ke luar negeri setelah semua yang terjadi diantara kami setahun silam. Faraz, dia ada disini. Dan dia baik-baik saja.

Kenangan demi kenangan masa lalu kembali hadir. Bagaimana kami bertemu, bagaimana kami bertahan hidup berdua, bagaimana kami terpisah dan akhirnya bersatu kembali. Aku ingin mengukir kenangan baru. Kenangan yang lebih indah tentunya. Bersama keluarga kecilku, putriku dan suamiku. Juga bersama ibuku serta abangku yang jarang pulang. Semua akan kumulai dari awal lagi. Seperti kertas putih. Seperti hati yang baru. Hati yang suci, yang fitri.

***

Lihatlah ibuku. Betapa selama ini ia menahan penderitaan karena diriku. Mataku mulai berkaca-kaca saat bersimpuh dihadapannya. “Bu, maaf jika selama ini aku selalu menyakitimu. Sebentar lagi akan menempuh kehidupanku yang baru. Aku tak bisa memberi Ibu apapun. Maafkan aku, Bu!”

“Kamu sudah memberikan Ibu hadiah yang terindah, nak. Kamu memberiku cucu dan menantu sekaligus, kurang apa? Ah, iya. Kamu juga memberiku putra yang baik. Apa jadinya jika kita tidak dipertemukan dengan Abangmu ini?” ujarnya sambil mengelus kepala Faraz seperti anak kecil.

“Ibu terlalu berlebihan!” guraunya.

“Aku rindu ayah, Bu! Setelah ini kita ziarah ke makamnya, ya!”

“Terimakasih telah memaafkan Ibu dan Ayahmu, nak! Maaf atas penderitaan yang kami beri selama ini. Maaf atas waktu-waktu yang kaulalui seorang diri. Jaga baik-baik keluargamu, ya! Semoga kalian selalu dalam kebahagiaan.”

Ini bukan akhir, justru sebuah awal yang baru. Kau tahu sejak awal aku sudah mengatakannya, harapan itu kekuatan, dan keajaiban itu nyata. Aku telah membuktikannya. Terimakasih dunia. Aku bahagia. (@hikmatul.khs)



-- END --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages